-->
lm2ehI3jonma4uzm1pDxTuKLeJW1muj7wMTB5q1K

Ngaji[combine]

Baper[oneright]

Review[oneleft]

Cerpen[three](3)

Lifestyle[hot](3)

Kisah[two]

Aksara[dark](3)

    Page

    Bookmark

    Aku Nggak Gila

    Cerpen  |
    “Aku nggak gila!”
    “Aku nggak gila!”
    “Aku nggak gila!”

    Sambil berlari, anak muda yang mungkin berumur 17-an itu terus berteriak. Spontan, bapak-bapak yang sedang memacu becaknya, ibu-ibu yang sedang memajang dagangannya, dan siapapun yang mendengar suara itu mendadak berhenti. Mematung. Mata mereka tertuju pada sosok laki-laki yang terus berlari. Tampak di belakang laki-laki itu beberpa laki-laki kekar mengejar. Ada yang berkumis tebal. Lengkap dengan berseragam polisi. Pestol terkulai pasrah di tangannya. “Dor, dor, dor,” Pestol berteriak ke langit. “Berhenti!” sahut polis mengiringi teriakan pestol. Mereka terus lari-larian. Belok kanan, belok kiri, masuk gang, keluar gang dan seterusnya.
    **

    Suasana begitu hening. Lampu hanya berani besinar samar-samar. Pak Noto yang berada di ruang menakutkan itu menunduk. Wajahnya pucat pusam. Mungkin dia malu atau, entahlah. Beda dengan putra kesayangannya di sampingnya. Dia terlihat tenang dan girang. Sesekali sinar lampu menerjang giginya yang menyungging senyum. Sesekali pak Noto melihat anaknya, marah. Rasanya, Pak Noto ingin menghajarnya sampai bonyok-bonyok. Pak Noto gereget. Tak sabar. Dan ingin rasanya berteriak. Huh, desahnya. Tak lama kemudian, datanglah laki-laki tegap. Wajahnya berwarna kehitam-hitaman. Dialah polisi yang hendak mengintrogasi Sartoyo, anak pak Noto.
    “Sartoyo?” tanya polisi itu.
    “Betul pak.”  Jawab Sartoyo begitu tenang. Pak Noto ketakutan.
    “Kenapa kau lakukan itu? Tanya polisi lagi.
    Sartoyo terdiam. Bola matanya berputar-putar. Mungkin dia mengingat-mengingat. “Ayo jawab!” bentak polisi. Sartoyo tetap tenang. Malah dia berujar, “Benar bapak pengen tahu?” hampir saja tangan kekar menonjok wajah Sartoso. Namun, tonjokan itu terhenti oleh suara pan Nato yang memelas. Lalu Sartoyo bercerita.

    “Pak polisi, aku anak pintar dan rajin. Wajahku juga tampan. Sehingga banyak teman kelasku yang keranjingan padaku. Apalagi aku terkenal sebagai anak pendiam dan anak baik. Suatu hari, aku berhasil mengondoli juara umum di sekolah. Karena bahagia, ayah memberiku hadiah HP mahal. Semakin hari, aku semakin pintar mengoprasikan HP itu, apa lagi aplikasinya begitu canggih. Aku jadi gampang berkomonikasi dengan teman-teman.

    Aku juga mulai rajin di Facebook. Temanku mencapai ribuan. Aku keluarkan semua keahlian sastraku untuk meng-update status seindah-indahnya. Beberpa hari kemudian, tanpa sengaja, -mungkin- aku berkenalan dengan seorang gadis. Rumahnya di desa sebelah. Awalnya, dia ngelike statusku. Katanya statusku begitu menggugah. Akupun juga ngelike statusnya jika dia update. Kita pun like-liekan. Tak lama kemudian, komen-komenan. Setelah itu, kita inbok-inbokan. Entah siapa yang memulai. Karena semakin akrab, kitapun tukar nomer HP. Aku pun mulai berani mendengar suaranya. Menanggalkan sifat pendiamku. Seminggu kemudian, dia mengajak bertemu. Kitapun bertemu di kebun mangga miliki pak Jojon. Ah, malu aku menceritakan apa yang terjadi di kebun itu. Yang jelas, dia menghanyutkanku. Katanya, dia tidak boleh menikah sebab umurnya masih 16. Maka, dia melampiaskannya padaku. Aku yakin waktu itu setan bersorak-sorak bahagia. Malaikat rahmat lari bergelimpangan. Malaikat pencatan amal baik hanya terdiam, sedangkan malaikat pencatat amal buruk sibuk mencatat. Neraka pasti juga tersenyum melihatku.

    Polisi mengangguk-ngagguk. Sesekali tangannya berjoget di atas kertas. “Kau nggak gila kan?” “Jelas nggak.” Sahut Sartoyo.

    Pak polisi, setelah kejadian itu, aku ingin lagi. Aku pun keluarkan jurus seperti yang aku ceritakan tadi. Sedikit demi sedikit tapi pasti. Setelah dapet, aku ajak bertemu. Dengan janji-janji, aku rebut kesucian korbanku itu. Hari berganti, korbanku juga berganti. Kalau mereka tidak mau, aku perkosa. Setelah aku mendapatkannya, nomerku aku blokir. Jadi, mereka tidak mungkin bisa menghubungi aku lagi kalau ada apa-apa. Mereka juga tidak mungkin lapor sama polisi. Di desa mereka tergolong religius. Kalau ketahuan tidak suci, akan menjadi gunjingan setiap hari. Kalau dihitung-hitung, sudah 14 gadis yang bukan lagi gadis karena ulahku.
    “Kau gila!” gertak Polisi sekeras-kerasnya.
    “Aku nggak gila pak. Aku waras!” Sartoyo balik membentak.
    “Terus kenapa kau lakukan itu?”
    “Salah mereka.”
    Pak Noto hanya berani bernafas. Selebihnya tidak. Apa lagi ketika mendengar cerita anaknya. Jantungnya hampir berhenti. Ingin rasanya dia berdiri dan mencekik anak biadab itu. Pak Noto menebak-nebak bagaimana rasanya ayah si gadis andai tahu anak gadisnya bukan gadis, bagaimana perasaan sang ibu andai tahu anak gadisnya bukan gadis, bagaimana perasaan saudaranya andai tahu saudaranya bukan lagi gadis karena hubungan najis. Pasti sakit. Andai semua itu terjadi pada Pak Noto, Pak Noto akan membelah kepala laki-laki yang menajiskan itu dengan batu besar. Biar mampus. Namun, laki-laki biadab itu putranya. Mampukah dia melakukannya?

    “Kenapa kau bunuh Farida Sahlia dan Faizah Nunung?” tanya polisi itu dengan nada yang dipaksakan lembut.

    “Farida adalah ketua OSIS terkeren di desaku. Nunung adalah teman akrabnya dan penulis handal. Mereka tahu perbuatanku. Salah satu korbanku adalah salah satu teman mereka. Mereka mengancam kalau aku tidak segera menikahi korbanku itu akan melapor. Aku marah. Manamungkin aku menikahinya. Umurku masih 17-an. Pak Mudin pasti tidak mengzinkan. Lagian, aku tidak mencintainya. Aku pun mencari cara agar terlepas dari cakaran dua “pahlawan” perempuan itu. Semalaman aku memutar otak. Aku menemukan ide. Aku buat dua akun Facebook baru; satu untuk Farida dan yang satu untuk Nunung. Tentu, hanya diawali dengan menge-like status mereka. Setelah itu, jurusku berjalan dengan sempurna. Sebulan kemudian, aku mengajak mereka bertemu. Pada waktu bersamaan di tempat berbeda tapi berdekatan. Aku berjanji pada Farida dan Nunung akan menjemput di Alun-Alun. Pertama aku jemput Nunung. Kebetulan mereka tidak begitu mengenal wajahku. Jadi tidak perlu menyamar. Aku hanya memakai Kaca mata lebar agar tidak terlau jelas. Nunung langsung membonceng menuju tempat janjian dan meninggalkan Farida. Di tempat yang sepi itu, aku menggempur Nonong dengan besi. Habis sudah. 10 menit kemudian, aku sudah berada di Alun-Alun untuk menjemput Farida. Dengan sepeda dan pakaian berbeda tentunya. Farida pasti mengira aku bukan orang yang menjemput Nunung. Farida yakin aku pujaannya di Facebook. Kami pun langsung bertendang ke tempat janjian. Di tempat itu, kami hanya berdua. Farida tampak bahagia. Semilir angin berdesir menerpa kerudung gadis malang itu. Ketika Farida tidak menghadapku, aku ambil linggis di jok. Lalu, aku kepruk Farida dari belakang. Farida terpelanting dan sekarat. Di saat-saat terakhir itu, aku masih sempat mengambil mahkotanya."

    “Kau gila.” Kata polisi gertak.
    “Kau gila nak.” Pak Noto kecewa.
    “Tidak.... Aku waras.”
    “Kau gila”
    “Kau gila”
     “Kau gila”

    Mendengar tuduhan itu, Sartoyo tegang. Matanya membelalak. Tangannya menyumbat telinganya. “Tidak......” teriaknya. Kemudian dia lari.
    “Aku nggak gila.”
    “Aku nggak gila.”

    Penghuni Gubuk Lasiyama, 15, 12, 1435 H.


    Posting Komentar

    Posting Komentar