-->
lm2ehI3jonma4uzm1pDxTuKLeJW1muj7wMTB5q1K

Ngaji[combine]

Baper[oneright]

Review[oneleft]

Cerpen[three](3)

Lifestyle[hot](3)

Kisah[two]

Aksara[dark](3)

    Page

    Bookmark

    Kenangan Menakutkan di Royal Flaza

    Saya berangkat ke Royal Flaza dengan semangat membara. Bukan untuk belanja, tapi mengasah kemampuan diri sebagai pemuda. Di sana, ada tantangan yang harus aku taklukkan. Ada ilmu baru yang juga harus aku dapatkan. Lebih tepatnya, mencoba memerangi kekerdilan diri sendiri.

    Saya berangkat dari Beskem Sahabat Pemuda, nama organiasasi yang baru saya masuki. Saya ditemani dua pembimbing. Hal yang jarang terjadi. Biasanya, satu pembimbing menangani tiga orang. Tapi, waktu turlap(turun lapangan), saya dibimibng dua pembimbing. Sebab, hanya saya yang menjalani pelatihan pada hari minggu.


    Saya dan dua pembimbing saya naik ke lantai atas. Entah yang nomer berapa. Saya tidak ingat. Setelah sampai tujuan, pembimbing saya mencari-cari orang yang mungkin bisa ikut berpartisipasi dalam kegiatan kami. Mereka mensosialisasikan majalah kami bergantian. Saya melihatnya dengan seksama. Dan, nanti ketika tiba giliran saya, saya akan meniru gaya mereka.

    Setelah dua pembimbing saya selesai mencontohkan, saya disuruh perkatek. Saya pun mencobanya. Kata-kata yang telah diajarkan kepada saya waktu trining saya keluarkan. Kata-kata yang hampir saya hafal. Bukan hampir, tapi memang saya hafal betul. Saya menghafalkannya. Akan tetapi, ketika saya mengajak bicara pada seorang pegawai, wajahnya sedikit tegang dan bingung. Saya mengira karena saya tidak bisa mencairkan suasana. Kedua pembimbing saya pun angkat bicara. Eh, wajah pegawai tadi langsung berseri-seri. Memang sayanya mungkin yang tegang, sehingga membuat orang lain ikut tegang.

    Dalam hati, saya bertekad saya harus bisa. Saya pun mencoba kembali. Tentu dengan wajah yang dimanis-maniskan. Sekat dalam hati pun saya coca hapus. Tapi, tetap saja. Orang-orang yang saya ajak bicara, tidak secerah orang yang diajak bicara kedua pembimbing saya. Saya menjadi sadar. Ternyata, berintraksi dengan orang lain itu butuh latihan yang rumit.

    Tak lama kemudian, ada seorang laki-laki mendatangi kami. Laki-laki itu memakai switer hitam. Salah satu telinganya disumbat dengan Handset. Dia menanyai kami apakah kami sudah mendapat izin untuk sosialisasi majalah. Pembimbing saya yang bertanggung jawab mengatakan tidak. Kamipun diajak ke kantor satpam. Kami nunut saja.

    Sesampainya di kantor satpam, ketua satpam berbasa-basi dengan dengan kedua pembimbing saya. Saya diam saja. Setelah bebarapa lama, laki-laki yang katanya sudah punya anak itu menyita sisa majalah kami. Kami tidak apa-apa. Lalu dia membawanya ke dalam kantor. Kami ditinggal bertiga. “Dek, santai. Tidak usah tegang. Biasa saja!” Kata salah satu pembimbing saya. Saya tersenyum. Mungkin, pembimbing saya mengatakan seperti itu karena ada ketegangan dan ketakutan di wajah saya. Saya pun menenagkan diri. Santai. Satpam juga manusia. hehe.

    Tak selang beberapa lama, Kepala satpam tadi muncul kembali. Di tangannya ada selembar kertas. Kertas itu disodorkan kepada salah satu pembimbing saya. Ternyata, kertas itu merupakan pernyataan bahwa kami telah melanggar. Kami bersalah karena tanpa izin mensosialisasikan majalah kami. Tentu, ada denda yang harus kami bayar jika kami ingin bebas. Kedua pembimbing saya pun meminta despensasi. Karena kami benar-benar tidak tahu peraturan-perturan di Royal ini. Pak Satpam bergeming. Bahkan, dibumbui nada tinggi. “Saya cuma menjelankan tugas.” Katanya. Terpaksa, kami harus bayar denda. Andai saja penegak hukum Indonesia seperti pak satpam ini, mungkin tidak akan ada korupsi.

    Herannya, saya tidak melihat kecemasan di wajah kedua pembimbing saya itu. Raut wajah mereka santai-santai saja. Refresh, hangat, kalem, dan bersahabat. Mungkin kerakter yang seperti itulah yang harus dimiliki pemuda saat ini. Dalam kondisi seperti apapun, tetap tenang, lembut, dan bersahabat. “Dek, kerakternya dibangun!” Pesan pembimbing saya itu. Saya menganggut saja. Menyimpan rasa geli yang bergejolak di hati. Bukan karena pesannya, tapi karena saya dipanggil adek. Adek? Bukankah kalau dilihat dari umur, saya dan pembimbing saya itu seumuran? Biarlah.

    Baca artikel keislaman di sini


    1 komentar

    1 komentar

    • Amelia Karunia
      Amelia Karunia
      9 Januari 2016 pukul 09.55
      Good Job dear😄😃
      Reply