-->
lm2ehI3jonma4uzm1pDxTuKLeJW1muj7wMTB5q1K

Ngaji[combine]

Baper[oneright]

Review[oneleft]

Cerpen[three](3)

Lifestyle[hot](3)

Kisah[two]

Aksara[dark](3)

    Page

    Bookmark

    Khutbah Jumat: Belajar pada Abu Lahab dan Raja Abrahah


    Berbicara tentang takwa, erat kaitannya dengan keimanan kita kepada Nabi Muhammad saw.. Nabi yang lahir pada bulan Rabiul Awal. Menurut mayoritas ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah, beliau lahir pada hari Senin, tanggal 12 Rabiul Awal, tahun Gajah.

    Tentu, dalam peristiwa kelahiran Rasulullah saw. ada banyak kejadian yang bisa kita jadikan ibrah. Setidaknya, ada dua peristiwa besar yang patut kita garis bawahi.

    sumber foto: alif.id

    Pertama, Abu Lahab memerdekakan budak perempuannya yang bernama Tsuwaibah.

    Setelah Rasulullah lahir, Abu Lahab bahagia sekali. Saking bahagianya, dia memerdekakan budak perempuannya itu.

    Namun, ketika Rasulullah diutus, Abu Lahab termasuk orang-orang yang menentang dakwah Rasulullah. Abu Lahab juga menyakiti, menuduh, bahkan meletakkan kotoran di depan pintu Rasulullah saw..

    Akhir dari kejahatan Abu Lahab itu, Allah menurunkan sebuah surat yang berbunyi Tabbat Yada Abi Lahabiw Watab. Ayat ini menjelaskan, Abu Lahab dan istrinya adalah orang yang celaka. Orang yang akan kekal kelak di neraka.

    Lalu apa yang terjadi ketika Abu Lahab meninggal? Diceritakan dalam Sahih Bukhari, salah satu keluarga nabi bermimpi Abu Lahab. Dalam riwayat lain, yang bermimpi itu adalah Sayidina ‘Abbas. Paman Rasulullah. Saudara Abu Lahab.

    Dalam mimpinya, Sayidina ‘Abbas bertanya, “Bagaimana kabarmu?”

    Abu Lahab menjawab, “Sangat buruk. Siksaan begitu pedih dan dahsyat. Hanya saja, aku diberi minum dari celah-celah antara jempol dan telunjuk. Karena aku dulu pernah memerdekakan Tsuwaibah.”

    Dalam riwayat lain, Abu Lahab diringankan siksaannya setiap hari Senin. Karena pada hari Senin itulah Abu Lahab bahagia atas kelahiran Rasulullah. Lalu memerdekakan budak.

    Oleh karenanya, al-Hafidz Ibnu Nashiruddin membuat puisi mengenai hal ini. Kata beliau sebagaimana dikutip oleh Sayid Muhammad al-Maliki dalam kitab adz-Dzakhair al-Muhammdiyah:

    اذا كان هذا كافرا جاء ذمه # بتبت يداه في الجحيم مخلدا
    أتى انه في يوم الاثنين دائما # يخفف عنه للسرور بأحمدا
    فماالظن بالعبد الذي طول عمره # وبأحمد سرورا ومات موحدا

    “Jika orang ini kafir yang telah dicela
    Dengan Tabbat yadah, di neraka selamanya
    Lalu ada riwayat, bahwa orang itu setiap hari Senin
    Diringankan (siksaannya) karena bahagia pada Ahmad (Nabi Muhammad)
    Maka, bagimana kiranya dengan seorang hambah yang panjang umurnya
    Bahagia dengan kelahiran baginda dan mati dalam keadaan mengesakan Tuhan yang Maha Esa?”

    Jawaban dari pertanyaan ini adalah pasti lebih diringankan. Jika kita memang masuk neraka, kita akan diringankan.

    Maka, ketika kita melakukan Maulid Nabi, niatnya karena kita bahagia akan kelahiran Rasulullah. Ketika kita membaca shalawat, hadirkan dalam hati kebahagiaan kita atas kelahiran Rasulullah.

    Keberadaan Rasulullah itu anugerah. Kehadiran Rasulullah itu rahmah. Allah memerintah kita untuk berbahagia atas anugerah dan rahmat yang diberikan kepada kita. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Yunus ayat 58.

    Kedua, peristiwa hancurnya Abrahah dan pasukannya

    Beberapa bulan sebelum Rasulullah saw. lahir, Abrahah bersama pasukannya ingin menghancurkan Kakbah. Abrahah terkenal raja yang kuat. Memiliki militer yang hebat. Ditambah pasukan gajahnya yang bisa bikin sebuah negara tamat.

    Akan tetapi, Allah menghancurkan Abrahah bersama tentaranya. Allah mengirimkan burung Ababil. Membawa tiga batu dari neraka. Satu di mulut, dua di kaki. Batu itu dilemparkan kepada Abrahah dan pasukannya. Mereka mati mengenaskan. Peristiwa itu kemudian diabadikan dalam surat Al-Fil.

    Menurut ulama, peristiwa penghancuran Abrahah dan pasukannya karena memuliakan kelahiran Rasulullah. Karena pada tahun itu, Rasulullah akan lahir.

    Oleh karenanya, pada bulan ini adalah momentum bagi kita untuk menghancurkan keangkuhan kita. Menghancurkan kesombongan kita. Sehingga kita sadar, kita seorang hambah. Kita makhluk yang tercipta. Kita diciptakan hanya untuk menghamba kepada-Nya.

    Maka penting bagi kita, untuk merenungi sebuah ayat ini:

    أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ

    Ayat ini mempertanyakan, apakah belum waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk khusyuk saat berdzikir kepada Allah. Apakah belum waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk khusyuk saat mendengar mauidzah. Apakah belum waktunya bagi orang yang beriman untuk khusyuk saat mendengar ayat suci Alquran.

    Jika kita kembangkan lagi, apakah belum waktunya bagi kita untuk rajin ke masjid? Apakah belum waktunya bagi kita untuk salat fardu tepat waktu? Apakah belum waktunya? Padahal umur kita terus berkurang hitungannya?

    Jika kita membaca sejarah, betapa ulama itu sangat khuysuk saat berdzikir kepada Allah. Sebut saja Sayid Ali Zainal Abidin. Cicit Rasulullah yang sangat wara’ dan alim.

    Baca juga:


    Setiap ingin salat, beliau putih pucat. Beliau gematar. Setelah ditanya penyebabnya, beliau menjawab, bagaimana tidak pucat? Bagaimana tidak gemetar? Sebentar lagi beliau menghadap kepada Allah swt..

    Jadi, ada dua pelajaran yang bisa diambil dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di sebelum atau setelah kelahiran Rasulullah. Yaitu, kita berbahagia dengan kelahiran Rasulullah dan kita musnahkan keangkuhan sehingga kita menyadari kita ini hamba Allah.

    *Disarikan dari khutbah Jumat di Masjid Al-Hidayah, Simo Mulyo Baru, Surabaya Barat. Alhamdulillah, kali ini saya tidak tidur. hehe

    Posting Komentar

    Posting Komentar