-->
lm2ehI3jonma4uzm1pDxTuKLeJW1muj7wMTB5q1K

Ngaji[combine]

Baper[oneright]

Review[oneleft]

Cerpen[three](3)

Lifestyle[hot](3)

Kisah[two]

Aksara[dark](3)

    Page

    Bookmark

    Pilih Alquran atau Pancasila?


    Suatu ketika ada adik organisasi bercerita, saat OSPEK, dia ditanya, “Kamu pilih Alquran atau Pancasila?”Adik itu tidak menjawab. Dia tidak tahu jawabannya. Baru-baru ini juga viral sebuah pernyataan dari seorang tokoh, “Labih bagus mana Alquran atau Pancasila?”

    Andaikan saya ditanya hal yang sedemikian, rasa-rasanya saya juga tidak akan menjawab. Bagi saya, pertanyaan demikian itu memang tidak perlu dijawab. Tidak penting.

    Sumber foto: bobo.grid.id


    Pertanyaan seperti itu menggambarkan, si penanya belum selesai memikirkan faham agama dan nasionalisme. Dia meletakkan Alquran di satu sisi, Pancasila di satu sisi, lalu menabarkakkan keduanya. Padahal, bagi umat Islam, Pancasila itu sudah final. Agama dan Pancasila sudah selesai.


    Memang, bagi umat Islam, Alquran itu segalanya. Alqurah itu ruh Islam. Umat Islam bisa selamat dari dunia sampai akhirat jika berpegang teguh pada Alquran. Alquran itu panduan hidup. Juga, sumber hukum Islam paling utama.

    Namun, cinta pada Alquran bukan berarti harus anti Pancasila. Cinta pada Alquran dan Pancasila sama-sama bisa kita jalani. Jika kita dipaksa memilih salah satu, sama saja kita diperbolehkan makan, tapi tidak boleh minum. Atau sebaliknya.

    Menurut pemahaman saya, Pancasila diterima bahkan diperjuangkan oleh para ulama karena dua hal yang mendasar. Pertama, Pancasila tidak bertentangan dengan Alquran. Bahkan, butir-butir Pancasila sesuai dengan butir-butir yang tertuang dalam Alquran.

    Kedua, Pancasila adalah strategi untuk mengamalkan ajaran Islam dan kemenangan Islam. Pancasila seperti perjanjian Hudaibiyah di masa Rasulullah. Rasulullah menerima perjanjian Hudaibiyah meski tampak merugikan Islam.

    Tapi sejatinya, perjanjian Hudaibiyah adalah strategi Rasulullah untuk memenangkan Islam. Terbukti, perjanjian Hudaibiyah menjadi titik  awal dari pembebasan Makkah.

    Hal ini sebagaimana dialog KH As’ad Saymsul ‘Arifin Sitobondo dengan KH Ridwan. Dialog itu saya dapatkan dari KH. Makruf Khazin dalam PowerPoint beliau. Berikut dialog tersebut, saya tulisa sesuai tulisan KH. Makruf Khazin:

    Telah sampai kepada saya riwayat dari Gus Sholahuddin, putra Kyai Mujib Ridlwan Abdullah, beliau dari ayahnya Kyai Mujib, bahwa awalnya Kyai As’ad di masa itu tidak menerima adanya Azaz Tunggal Pancasila. 

    Bagi kyai pelaku sejarah NU ini, Islam tidak bisa diganti dengan apapun termasuk dengan Pancasila. Kyai As’ad berkata kepada Kyai Mujib: “Tidak bisa Pak Mujib. Islam tidak bisa diganti dengan Azaz Tunggal. Kalau Suharto masih meneruskan ini, kita harus Sabil (perang), Pak Mujib. Saya meski sudah tua begini jangan dikira takut perang. Kita turun ke hutan lagi seperti dulu”.

    Terjadi dialog panjang antara Kyai As’ad dengan Kyai Mujib yang cenderung menerima Azaz Tunggal Pancasila. Tidak ada argumen yang keluar dari Kyai Mujib kecuali langsung dijawab oleh Kyai As’ad. Ketika Kyai Mujib mengeluarkan dalil al-Quran, maka Kyai As’ad juga berdalil al-Quran, begitu pula dengan dalil hadis. 

    Akhirnya Kyai Mujib berkata: “Kyai, lebih berat mana NU menerima Azaz Tunggal Pancasila dengan Rasulullah menerima Perjanjian Hudaibiyah?”. Sejak itulah kemudian Kyai As’ad menerima Azaz Tunggal Pancasila pada Munas Alim Ulama dan Muktamar NU di Situbondo.

    Meski demikian, Pancasila dengan rumusannya yang sekarang, tidak bisa mengganti posisi agama. Juga tidak bisa mengganti posisi Alquran.

    Baca juga: 


    Alquran adalah dasar kita dalam beragama. Pancasila dasar kita dalam bernegara. Pancasila tidak bisa dan tidak boleh dibenturkan dengan Alquran. Karena keduanya tidak bertentangan.

    Saya ingin mengahiri tulisan ini dengan pernyataan Almarhum BJ Habibie. Pernyataan beliau ini tertulis dalam buku “The Power Of Ideas”.

    Kata beliau:

    “Jika ada orang bertanya, Habibie itu siapa? Insinyur, muslim ataukah Indonesia? Saya jawab, “Muslim”. Kenapa? Kalau saya mati kelak, saya bukan lagi warga negara mana. Atau mempunyai kedudukan apa?...... Tapi kalau saya jawab demikian, jangan lalu ada yang bilang Habibie tidak nasionalis. No!” Wallahu A’lam.

    Posting Komentar

    Posting Komentar