-->
lm2ehI3jonma4uzm1pDxTuKLeJW1muj7wMTB5q1K

Ngaji[combine]

Baper[oneright]

Review[oneleft]

Cerpen[three](3)

Lifestyle[hot](3)

Kisah[two]

Aksara[dark](3)

    Page

    Bookmark

    [Cermin] Ketika Bapak Kehujanan

    Sumber Foto: https://www.kaskus.co.id/


    Hujan masih turun satu-satu. Langit gelap. Gemuruh sering terdengar. Ilyas tetap memantapkan hati untuk berangkat. Berbelanja ke pasar lalu dijajakan lagi ke plosok desa. Dia pencet starter sepeda motornya. Lalu pergi.

    Aku melihatnya dari belakang. Rombong yang ada di bagian belakang motor masih terlihat. Di Rombong itulah, Ilyas menaruh hidup keluarganya.


    Tak selang beberapa lama, hujan turun. Lebat sekali. Pak Ilyas -begitu tetangga memanggilnya- pasti kehujanan. Pasti basah kuyup. Jas hujan dari plastik yang dia kenakan tidak mungkin bisa menghalangi derasnya hujan.

    Aku termenung di teras rumah. Melempar pandangan ke arah jalan utama desaku. Beraspal tapi berlubang-lubang. Sesekali aku lemparkan pandangan pada daun-daun pohon di kejauhan.

    “Kasihan sekali Pak Ilyas. Hujan begini masih harus mengais rezeki,” gumam hatiku.

    Mungkin saja, waktu itu sebenarnya bukan Pak Ilyas saja yang kehujanan. Masih banyak petani yang masih di sawah menanam padi. Masih banyak orang-orang desa yang masih di tegal mencari rumput untuk makanan sapi.

    Mungkin saja begitu. Tapi mungkin juga mereka berteduh. Bisa di bawah pohon rindang atau apalah.

    Aku masih saja termenung. Pak Ilyas berputar-putar dalam pikiranku. Pak Ilyas ini seorang bapak dari dua seorang anak. Istrinya ikut membantunya menyiapkan jualan. Kadang juga membuat tikar dan dijual ke pasar.

    Anaknya laki-laki semua. Anak pertamanya dia mondokkan ke pesantren. Anak yang kedua masih sekolah SD. Dia dan keluarga hidup dari hasil jualan sayur itu.

    Pagi-pagi sekali Pak Ilyas berangkat ke pasar. Shalat subuh dia tunaikan berjemaah dengan sang istri. Diteruskan dengan membaca surat al-Waqi’ah. Aku tahu itu. Karena suaranya selalu terdengar ke kamarku.

    Pak Ilyas belanja ke pasar. Lalu menjajakannya ke plosok desa. Bukan sayuran saja yang dia jual. Ada ikan, tahu, tempe, gorengan, kalau bukan musim hujan juga es yang bermacam-macam.

    Sesudah belanja dan berkangkat untuk menjajakannya, Pak Ilyas seperti membawa batu besar yang ditumbuhi rumput-rumput. Untungnya Pak Ilyas lumayan tinggi. Kepalanya masih bisa terlihat.

    Musim hujan seperti sekarang ini, pasti membuat pekerjaan Pak Ilyas semakin berat. Dia harus ‘bertarung’ dengan hujan. Dia juga harus ekstra hati-hati di jalan karena jalan di plosok desa pasti becek dan licin.

    Ditambah lagi jalan yang naik-turun, kadang harus melewati jembatan yang tanpa pagar.
    Aku kadang membeli jualan Pak Ilyas. Biasanya sesudah beliau pulang dan jualannya masih tersisa. Kadang aku pesan agar jualannya tidak dijual semua. Kadang ibuku sendiri yang pesan ke Bapak Ilyas.

    “Hujan begini masih mau jualan pak?” tanyaku beberapa hari yang lalu.

    “Iya cong. Anak bapak yang di pesantren katanya uangnya sudah habis. Bapak harus segera mengirimnya uang lagi,” sahutnya.

    Sejak saat itu, aku tidak pernah meminta yang mahal-mahal lagi ke bapak dan ibuk.

    Baca juga: Ngajari Anak Cerdas, Jadi Ingin Punya Anak Cerdas

    Posting Komentar

    Posting Komentar