-->
lm2ehI3jonma4uzm1pDxTuKLeJW1muj7wMTB5q1K

Ngaji[combine]

Baper[oneright]

Review[oneleft]

Cerpen[three](3)

Lifestyle[hot](3)

Kisah[two]

Aksara[dark](3)

    Page

    Bookmark

    Merdeka di Atas Tangisan Bangsa

     Alhamdulillah, beberapa hari lalu, kita merayakan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-76. Kita bersyukur atas anugerah yang luar biasa dari Allah yang Maha Kuasa. Tentunya, perayaan kemerdekaan bukan hanya sekedar seremonial. Harus ada ‘ruh’ kemerdekaan yang kembali kita refresh. Selanjutnya kita tanamkan kembali dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

    Bagi saya, perayaan hari kemerdekaan pada tahun ini sangat istimewa. Karena bersamaan dengan awal tahun baru hijriah. Yaitu sebuah kalender yang dimulai dari hijrahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah. Subtansi dari hijrah nabi tersebut adalah meninggalkan ‘keterbelengguan’ menuju ‘kemerdekaan’.

    Opini Hari Kemerdekaan | today.line.me/

    Ya, setelah Rasulullah berada di Madinah, Rasulullah merdeka. Beliau bebas mengajarkan agama. Beliau bebas menata kehidupan dunia umatnya agar lebih sejahtera. Tidak seperti saat di Makah yang menghadapi teror setiap saat. Tidak hanya dalam keagamaan, hidup dengan layak pun tak beliau dapatkan.

    Ada dua hal yang Rasulullah lakukan setelah benar-benar merdeka. Pertama, beliau membangun masjid di Madinah. Masjid ini menjadi pusat kegiatan keislaman. Terutama dalam mengasah spiritualitas umat. Itu artinya, spiritualitas seorang hamba sangat penting dalam kehidupan. Spiritualitas akan menghiasi hati. Ketika hati menjadi baik, baik pulalah aktivitas yang dilakukan raga.

    Kedua, Rasulullah memupuk persaudaraan antar umat. Sahabat Muhajirin (orang Makkah yang ikut hijrah ke Madinah) dipersaudarakan dengan sahabat Anshor (penduduk asli Madinah). Dari persaudaraan itu, umat saling membantu. Orang Islam yang tidak punya siapa-siapa, jadi punya keluarga. Orang Islam yang tidak punya apa-apa, jadi punya apa-apa. Setidaknya untuk modal berniaga.

    Dari dua hal tersebut (tidak menafikan faktor lain), berdirilah negara Madinah. Sedikit demi sedikit semakin makmur. Bahkan siapa sangka, dalam beberapa tahun kemudian, Kota Makkahpun kalah. Makkah menjadi bagian dari negara yang dipimpinan Rasulullah. Setelah Rasulullah wafat, negara itu semakin luas sampai ke Persia, Syam, bahkan bagian selatan Afrika. Ya, berkat spiritualitas dan persaudaraan.

    Ruh kemerdekaan yang dibangun oleh Rasulullah juga kita temukan di negara tercinta, kita kenal dengan Pancasila. Falsafah negara yang mendapat sentuhan-sentuhan religiusitas ulama itu seperti atap rumah. Di bawah atap itu ada berbagai orang dengan latar belakang yang bermacam-macam.

    Di bawah Pancasila, kita bisa melawan penjajahan. Di bawah Pancasila, syukur Alhamdulillah, bangsa Indonesia dengan segala tradisi sosial dan keagamaannya masih bisa bergandengan tangan sampai sekarang.

    Nah, di hari peringatan kemerdekaan ini, kita perlu diam sejenak. Lalu bertanya pada hati kita yang terdalam, mampukah kita merawat Pancasila? Bisakah kita mengamalkan amanat Pancasila? Mampukah kita menjaga ruh kemerdekaan ini? Jika dulu Bapak-Bapak bangsa bisa merdeka dari penjajahan, bisakah kita juga merdeka dari masalah yang silih bergantian?

    Saya mengamini ungkapan Bung Karno, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.” Ungkapan ini mengajarkan kepada kita bahwa di setiap masa ada problemnya. Problem di masa Bung Karno adalah penjajahan dari bangsa lain. Tapi, di masa kita sekarang, problem itu lahir dari saudara kita sebangsa. Bahkan bisa jadi dari diri kita sendiri. Karenanya, perjuangan kita lebih berat, karena harus berhadapan dengan saudara atau diri sendiri.

    Tapi, saya tetap optimis, di setiap generasi pasti ada penerus perjuangan. Mereka mampu menyelesaikan setiap tantangan hidup. Teringat sebuah kalam hikmah dari sahabat Nabi, Auf bin Malik. Kalam hikmah ini dikutip oleh Imam as-Sakhawi dalam al-Maqashid al-Hasanah. Sayidina Auf berkata,

    إن لكل زمان رجالا فخيارهم الذين يرجى خيرهم ولا يخاف شرهم وشرارهم يغنى بضدهم

    “Setiap zaman memiliki tokoh. Sebaik-baiknya tokoh adalah mereka yang diharapkan kebaikannya dan tidak ditakuti keburukannya. Sedangkan sejelek-jelek mereka adalah sebaliknya.”

    Ya, di setiap zaman pasti lahir tokoh-tokoh. Tokoh-tokoh terbaik adalah mereka yang diharapkan melakukan kebaikan dan tidak dihawatirkan melakukan kejahatan.

    Jika dulu para kiai mengangkat senjata untuk merebut kemerdekaan, di masa sekarang akan ada santri-santri yang terjun ke dunia internet. Di sana mereka meluruskan faham keislaman yang bisa melahirkan kekerasan.

    Jika dulu ada Sultan Syarif Kasim II dari Riau yang menyumbang 13 Juta Gulden Belanda (sekitar 1000 Triliun) untuk membantu kemerdekaan, sekarang akan ada pemuda yang tak kalah keren. Dia dengan sentuhan kreatifnya bisa mengurangi jumlah pengangguran. Paling tidak untuk dirinya.

    Jika dulu ada Bung Karno yang membaca proklamasi kemerdekaan, sekarang pun akan lahir pemimpin yang menyejahterakan.

    Namun demikian, pasti sulit mewujudkan. Malah, kemerdekaan Indonesia kadang menjadi merdeka tertawa di atas tangisan bangsa. Misalnya, masih ada orang kaya yang mencuri bansos milik orang miskin. Ya begitulah.

    Baca juga:

    Tapi, setidaknya ada harapan. Dimulai dari komponen bangsa paling kecil, yaitu diri kita sendiri. Ketika kita baik, maka orang sekitar kita akan merasakan hal yang baik-baik. Sebagaimana nasihat BJ. Habibie, “Jadilah mata air yang jernih yang memberikan kehidupan kepada sekitarmu.”

    Maka merdekalah! Merdeka untuk menebar kejernihan. Menjadi tokoh-tokoh zaman yang diharapkan. Dengan bekal spiritualitas dan kebersamaan. Satu hal yang perlu kita ingat, tidak ada kemerdekaan yang didapat tanpa perjuangan. Lalu, kitakah yang akan menjadi anak zaman yang diharapkan?

     

    Posting Komentar

    Posting Komentar