-->
lm2ehI3jonma4uzm1pDxTuKLeJW1muj7wMTB5q1K

Ngaji[combine]

Baper[oneright]

Review[oneleft]

Cerpen[three](3)

Lifestyle[hot](3)

Kisah[two]

Aksara[dark](3)

    Page

    Bookmark

    Bolehkah Percaya pada Firasat Menurut Islam?


    Pernah berfirasat tidak enak? Atau berfirasat negatif/postif pada seseorang? Jika pernah, apakah firasat itu menjadi kenyataan?

    Lalu, bagaimanakah firasat itu menurut Islam? Apakah firasat dalam Islam bisa dibenarkan?

    Nah, tulisan ini akan mengupas sedikit tentang firasat. Tulisan ini atas permintaan seorang sahabat.


    Hadis Firasat

    Apakah ada hadis tentang Firasat? Ada. Bahkan banyak. Hal ini menandakan ada pembahasan firasat dalam Islam. Seperti hadis-hadis mengenai firasat Sayidina Umar mengenai sebuah hukum. Lalu Allah mewahyukan hukum itu kepada Nabi Muhammad saw..


    Diantara hadis Firasat itu sebagaimana berikut:

    اتقوا فِرَاسَة المؤمن فإنه ينظر بنور الله

    “Takutlah kalian pada firasat orang yang beriman. Karena dia melihat dengan cahaya Allah” (HR. Imam Bukhari)

    Arti Firasat

    Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menulis, firasat itu bagian dari Ilham. Sedangkan Ilham termasuk salah satu wahyu kepada para nabi.

    Namun beliau mengatakan, tidak ada dalil yang menyatakan firasat sama dengan mimpi. Dalam banyak hadis, mimpi disebutkan termasuk dari kenabian.

    Menurut sebagian ulama, mimpi memang berbeda dengan firasat/ilham. Mimpi memiliki kaidah baku dan takwil yang berbeda.

    Ilham hanya dimiliki orang tertentu dan tidak ada kaidah yang bisa membedakan antara firasat yang dari setan dan firasat dari Allah[1].

    Adapun Imam ‘Ali Al-Qari merinci satu persatu arti firasat, arti ilham, dan arti wahyu.

    Arti wahyu: Firman Allah yang disampaikan pada hati para nabi melalui malaikat Jibril.

    Arti Ilham: Pengetahuan yang benar tentang sesuatu yang ghaib yang dimasukkan ke dalam hati seorang hamba oleh Allah swt..

    Arti Firasat: pengetahuan tentang sesuatu yang ghabi dengan pelantara melihat tanda-tanda pada sebuah objek.

    Dari sini bisa dibedakan antara ilham dan firasat. Ilham tidak menggunakan pelantara, sedangkan firasat menggunakan pelantara. Tapi, keduanya sama-sama khatir al-qalb (sesuatu yang terbesit dalam hati)[2].

    Selain pengertian di atas, masih banyak lagi pengertian firasat dari para ulama. Penulis rinci di bawah ini:

    Menurut Imam Qusyairi: arti firasat adalah kata hati yang lahir dari kekuatan iman yang menghujam ke dalam hati[3].

    Menurut Imam Raghib: arti firasat adalah Istidlal (menilai) karakter, keutamaan dan kejelekan seseorang dengan melihat bentuk tubuh, warna kulit, dan perkataannya[4].

    Pengertian dari Imam Raghib ini mirip dengan ilmu psikologi. Pengertian ini juga menjadi konsentrasi Imam ar-Razi dalam kitabnya, “Al-Firasah” ketika membahas firasat.

    Menurut Imam Al-Munawi: arti firasat adalah mengetahui isi hati[5]. Itulah  arti firasat menurut pendapat ulama tentang firasat dalam Islam.

    Apakah firasat bisa menjadi kenyataan?

    Apakah firasat bisa menjadi kenyataan? Atau sesuai dengan yang dengan kenyataan? Misalnya kita berfirasat bahwa “A” baik, apakah “A” memang baik? Dan apakah firasat dalam Islam dapat dibenarkan?

    Begini, firasat itu bisa benar bisa salah. Karena firasat itu bagian dari khathir (kata hati). Kata hati ada yang dari Allah, ada yang dari setan, ada juga yang dari diri sendiri (nasfu). Oleh karenanya, firasat tidak bisa dipastikan benar.

    Menurut Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, ciri-ciri kata hati yang benar adalah tetap dan teguh. Tidak mencla-mencle. Tidak gonjang-ganjing. Mungkin bisa dibahasakan dengan yakin. Sangat yakin.

    Sedangkan kata hati yang dari setan tidak teguh serta gonjang-ganjing. Bisa dibahasakan dengan keragu-raguan[6].

    Memang, dalam sebuah hadis, kita diperintah mengikuti hati. Seperti hadis, Dak ma yaribuk ila mala yaribuk. Tinggalkan yang meragukan, ambil yang tidak meragukan.
    Atau hadis, istafti qalbak. Tanya hatimu!

    Bolehkah mengaku punya firasat?

    Di atas sudah dijelaskan, firasat bisa benar bisa tidak. Bisa dari setan, bisa dari Allah. Oleh karenanya, Imam Abu Hafsh mengatakan, siapa pun tidak boleh mengaku punya firasat.

    Karena dalam hadis Rasulullah itu, kita diperintah untuk takut pada firasat orang mukmin, bukan mengaku memiliki firasat[7].

    Ya, cukup firasat kita ada dalam hati kita. Gak usah diungkapkan. Gimana kalau dijadikan salah satu pertimbangan mengambil keputusan untuk diri sendiri? Monggo!

    Bagaimana caranya agar memiliki firasat yang benar?

    Jangan bermaksiat! Ya, cara memiliki firasat yang benar adalah jangan bermaksiat!. Taat kepada Allah akan membuat firasat benar menurut Islam.

    Syaikh Syah al-Karmani, salah satu ulama yang memiliki firasat yang sangat tajam pernah mengatakan:

    “Barangsiapa yang memejamkan mata (tidak melihat perkara yang diharamkan), menahan syahwatnya, selalu intropeksi, selalu ikut sunah nabi, dan membiasakan makan yang halal, maka firasatnya tidak akan keliru[8]

    Baca juga:

    Semakin seseorang itu taat kepada Allah, maka semakin tajam firasatnya. Semakin tidak tiaat, maka semakin melemah.
    ***

    Begitulah, tulisan saya tentang firasat dalam Islam. Yang paling penting adalah kita mesti pasrahkan semuanya kepada Allah. Bertawakkal kepada Allah, bukan kepada firasat.

    Baca juga:

    Karena hanya Allah yang Maha Tahu. Hanya Allah yang tahu masa depan. Hanya Allah yang tahu isi hati seseorang. Pokoknya hanya Allah yang tahu hal-hal yang ghaib. Waspada sih boleh.

    Kapan-kapan –Insyaallah- akan saya tulis maksud hadis, “Takutlah pada firasat orang mu’min!”. Hadis ini berbicara tentang firasat dalam Islam.

    Oea, kemaren-kemaren saya berfirasat, kamu itu suka ke saya.. Setelah baca tulisan ini, gak jadi berfirasat deh. takut dosa. Eh, takut salah…. (+_+)  SALAM, SAHABATMU!


    [1] Fath al-Bari, (12/388), Dar al-Fikr.
    [2] Mirqat al-Mafatih, (2/90), Mauqi al-Misykah al-Islamiyah.
    [3] Bariqah Mahmudiyah, (4/320), Mauqi al-Islam.
    [4] Ibid
    [5] Fayd Al-Qadir, (1/185), Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
    [6] Fath al-Bari, (12/388), Dar al-Fikr.
    [7] Bariqah Mahmudiyah, (4/320), Mauqi al-Islam.
    [8] Ibid

    Posting Komentar

    Posting Komentar