-->
lm2ehI3jonma4uzm1pDxTuKLeJW1muj7wMTB5q1K

Ngaji[combine]

Baper[oneright]

Review[oneleft]

Cerpen[three](3)

Lifestyle[hot](3)

Kisah[two]

Aksara[dark](3)

    Page

    Bookmark

    Kiai Senang pada Santri yang Boyong Lalu Mengajar

    Kiai sangat senang jika santri-santrinya mengajar. Setelah santri itu boyong dari pesantren, dia membantu masyarakat memahami agama.

    Bahkan, ada pengasuh pesantren yang berpesan pada santrinya agar mengajar. Menjadi guru madrasah di desanya.


    "Kiai Cholil sangat senang jika ada santri boyong lalu mengajar," begitulah pesan pegasuh kurang-lebih pada santri yang akan boyong.


    Dulu, saat saya pamit berhenti dari pesantren, kiai juga berpesan kepada saya agar mengajar.

    Alhamdulillah, saya bisa mengajar sambil kuliah. Meski hanya mengajar anak ngaji Al-Quran.

    Mengajar ini sebenarnya tergantung komitmen diri. Jika mau, pasti ada jalan. Terlebih di kota besar seperti Surabaya. Santri yang faham agama sangat dibutuhkan.

    Tentu, mengajar tidak harus di madrasah. Tidak harus di sekolah. Mengajar juga bisa di rumah sendiri. Mengajar anak dan istri. Atau adik. Atau anak tetangga.

    Begitulah kata kiaiku yang satunya. Saat ada acara alumnian di Surabaya.


    Mengajar di Zaman Digital



    Semakin ke sini, menurut pandangan saya, mengajar ini semakin luas. Karena banyak segmen yang butuh santri jebolan pesantren salaf.

    Misalnya dalam dunia online. Mengajar menggunakan video lalu diupload di platform yang ada. Seperti Youtube dan Facebook.

    Namun, dalam hal ini santri masih minim. Jika pun ada, tidak seterkenal mereka-mereka yang bukan jebolan pesantren.

    Maka tak heran jika golongan santri pesantren ini kadang dapat olok-olok. Nggak lakulah, nggak menariklah, dan lain-lain.

    Olok-olok seperti ini tidak perlu dimasukkan ke dalam hati. Tetapi, buat intropeksi diri. Apanya yang kurang dan apanya yang perlu ditingkatkan.

    Ada yang bilang, sekarang ini alumni santri sudah mulai terjun ke dunia digital. Tetapi, masih kalah dengan tokoh-tokoh non-santri.

    Penyababnya, diantaranya kurangnya penokohan dari kalangan santri sendiri. Kalangan santri bergerak sendiri-sendiri. Sehingga masyarakat malah bingung, mana yang harus diikuti.

    Hal ini bukan bermaksud untuk saingan atau saling adu keterkenalan. Tetapi, anggaplah sebagai fastabiqul khairat. Atau melanjutkan perjuangan para guru.

    Mengajar dengan Menulis


    Mengajar juga bisa lewat tulisan. Bahkan, tulisan ini lebih dahsyat. Karena tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.

    Kata Sayid Nuqaib Al-Atas, "Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, sebuah tulisan bisa menembus ribuan kepala"

    Begitu juga, ada sebuah hadis yang mengatakan, semua amal Anak Adam itu putus saat dia meninggal.

    Ada tiga hal yang tidak putus. Diantaranya, ilmu yang dimenfaatkan orang lain.

    Nah, sebagian ulama mengatakan, tulisan termasuk salah satu ilmu yang terus bermenfaat.

    Namun demikian, sudahkah santri menulis? Ada berapa persen santri yang menulis? Siapa saja santri yang terkenal sebagai penulis?

    Ironi sebenarnya. Padahal, perang pemikiran begitu sengit dalam dunia tulis menulis ini.

    Oleh karenanya, santri zaman sekarang perlu banyak skil. Skil menulis, skil ngevlog, skil di dunia internet, dan skil yang lain.

    Bukan untuk gaya-gayaan. Tetapi, di sanalah ada kebutuhan. Agar pemahaman Islam yang sesuai pemahaman nabi itu tersampiakan.

    Percayalah, tidak ada skil yang sia-sia. Skil yang kita pelajari di pesantren, pasti bermenfaat saat pulang. Itu yang saya rasakan.

    Memupuk Kerpecayaan Diri Santri


    Ada sebuah konsep akhlak yang kadang salah difahami oleh santri. Yaitu tawadu'.

    Santri tidak mau tampil karena alasan tawadu'. Santri tidak mau berada di depan karena tawadu'.

    Padahal, orang yang tidak seberkualitas santri berani unjuk gigi. Ngaji Al-Quran saja tidak fasih, tapi berani berceramah.

    Masak santri yang ngaji langsung pada KH Bashori Malang tidak berani?

    Jangan-jangan bukan tawadu, tapi tidak percaya diri. Jika demikian, maka hal ini perlu diobati dengan serius.

    Sebab, hal yang sangat mendasar untuk sukses itu adalah kepercayaan diri. Jika diri kita saja tidak percaya pada diri kita sendiri, apa lagi orang lain.

    Saya sering mendapati teman yang tidak berani menshare tulisannya gara-gara malu. Ya, malu ini kata lain dari tidak percaya diri.

    Percalayalah, santri itu bisa! Kata senior dulu, "Kamu mudal sudah ada, tinggal model yang perlu dikembangkan."

    Maksudnya, santri itu memiliki bekal untuk tampil di depan. Terutama dalam ilmu agama. Hanya saja caranya yang perlu ditingkatkan.

    Jadi, di zaman yang canggih ini tidak sulit memtuhi keinginan kiai: mengajar. Sudah banyak cara dan medianya. Tinggal kita mau apa tidak.

    Salam, santri! Hanya intropeksi diri. Apakah santri memang harus mengajar? Coba kita pikir bareng-bareng.
    Posting Komentar

    Posting Komentar