-->
lm2ehI3jonma4uzm1pDxTuKLeJW1muj7wMTB5q1K

Ngaji[combine]

Baper[oneright]

Review[oneleft]

Cerpen[three](3)

Lifestyle[hot](3)

Kisah[two]

Aksara[dark](3)

    Page

    Bookmark

    Megang Uang Bagai Megang Burung

    Hidup di Surabaya tidak seperti hidup di Madura. Hidup di Surabaya harus serba hemat. Keuangan harus benar-benar diatur sedemikian rupa. Agar tidak kehabisan uang saku.

    Saya pun memeraktekkan hidup hemat ini. Kalau tidak sangat butuh, saya tidak akan beli-beli. Makan pun saya atur. Bahkan, kalau makanan, saya jarang mengeluarkan uang. Sebab, kadang mendapat jatah di Musholla tempat saya ngajar.


    Saya memang benar-benar ngirit. Suatu ketika, saya kena tilang. Untuk mendapatkan STNK tanpa ke pengadilan, saya menebus 50.000. Sebenernya, saya sanagt eman pada uang itu. Tapi mau bagaimana lagi. Uang itu harus saya relakan. Akhirnya, hati saya bergumam, kalau bukan rizeqi, pasti ada saja yang membuat uang kita hilang.

    Kemudian, saya teringat perkataan ibuk. Katanya, dari ayah. Memegang uang itu sama dengan memegang burung. Jangan terlalu longgar, jangan terlalu kencang. Terlalu longgar akan lari, terlalu kencang akan mati. Akhirnya, burung itu tak dapat kita menfaatkan. Uang juga begitu. Terlalu boros membahayakan, terlalu ngirit juga membahayakan.
    Contoh saja, kita punya uang 500.000. Kalau boros, sehari habis. Besoknya, kita makan apa? Kalau terlalu ngirit, sampai kita jarang makan. Lalu sakit. Uang 500.000 itu habis dibuat beli obat. Sama saja kan? Kita tidak dapat merasakan uang itu.

    Yang baik, memang tengah-tengah. Tidak boros, tidak terlalu ngirit. Biasa-biasa saja. Kalau butuh, beli. Kalau tidak, tidak usah beli. Sebab, kalau memang bukan rezeqi, kita tidak akan dapat merasakannya. Pasti ada saja sesuatu yang membuat uang itu hilang.

    Posting Komentar

    Posting Komentar