-->
lm2ehI3jonma4uzm1pDxTuKLeJW1muj7wMTB5q1K

Ngaji[combine]

Baper[oneright]

Review[oneleft]

Cerpen[three](3)

Lifestyle[hot](3)

Kisah[two]

Aksara[dark](3)

    Page

    Bookmark

    [Cermin] Karma Mertua


    Pagi itu, hati Pak Kosen benar-benar terluka. Sakit. Seperti sedang ditusuk-tusuk dengan benda tumupul dan berkarat. Bagaimana tidak ? Anak bungsunya tiba-tiba menghilang dibawa suaminya yang kurang ajar. Ya, dia benar-benar kurang ajar. Tidak tahu berterimakasih.

    Ibu Kosen di dalam rumah masih seseunggukan. Suaranya terdengar jelas ke amperan rumah. Pak Kosen diam saja. Sesekali dia seruput kopi buatnya sendiri. Dia mencoba menenangkan pikirannya yang kacau.


    Pak Kosen merasa dia paling terhina di dunia. Paling nelongso di dunia. Dan paling-paling yang lain. Kadang dia iri pada tetangga sebelahnya. Punya anak banyak. Lebih dari tiga. Tapi akur semua. Saling bantu memenuhi kebutuhan orang tua yang tak lagi bekerja.


    Lah Pak Kosen, cuma punya anak dua. Semuanya durhaka. Anak yang pertama yang bernama Kosen ikut istrinya ke Jakarta. Dan sudah dua tahun tak pernah ngirim kabar. Apa lagi ngirim uang.

    Pak Kosen kadang berpikir apa pantas dia dipanggil pak Kosen. Wong anaknya yang bernama Kosen itu sudah tidak menganggap dia bapaknya.

    Kosen, datang terakhir kalinya pas puasa. Dia membawa anak dan istrinya. Pak Kosen dan Bu Kosen bahagia tiada tara. Apa lagi saat menimang cucunya yang lucu. Cucu pertamanya itu sudah bisa bicara satu-satu. Sudah bisa tertawa kalau dicandai.

    Tapi nahas, Kosen dan bapaknya terjadi pertengkaran. Penyebabnya Karena Pak Kosen tersulut fitnah. Ya fitnah. Fitnah itu datang dari menantu keduanya. Menantu yang kurang ajar itu.

    Tapi Pak Kosen kurang ajar juga. Masak dia langsung percaya begitu saja. Tidak kroscek terlebih dahulu. Terkena hoax-kan. Yah biasalah orang desa. Ada berita apa saja cepat viral jadi sedesa.

    Sekali lagi Pak Kosen menyeruput kopinya. Bu Kosen masih saja menagis di dalam rumahnya. Mungkin bantal yang dibuat tutup wajahnya sudah basah kuyup.

    “Kurang ajar!”

    Pak Kosen terdengar menggerutu. Tidak terlalu keras, tapi terdengar oleh Bu Kosen. Mungkin kesabaran Pak Kosen mulali lunutr.

    Pak Kosen seruput kopinya lagi. Lalu mengisap rokonya. Asap rokok mengepul dari mulutnya. Dia ingat kejadian-kejadian menegangkan dengan menantu keduanya itu. Masalah dengan Kosen tidak terlalu menyakitkan, karena kini dia sadar, Kosen tidak salah.

    Yang salah, menantu keduanya yang kurang ajar itu. Mulutnya basi. Ringan mulut. Suka fitnah. Suka mengada-ngada. Suka menyerang orang lain. Bicara gak pernah dipikir-pikiri. Mungkin mulutnya tidak pernah dibuatin tumpeng.

    Dia pernah memfitnah Kosen.  Dia juga pernah memfitnah Ibu Kosen. Dia bilang ke tetangga-tetangga, Ibu Kosen sering marah-marah. Ibu Kosen tidak memberinya makan karena tidak ngasih uang belanja.

    Padahal, kenyataannya bukan begitu. Ibu Kosen bukan tidak memberinya makan, tapi karena memang tidak punya beras. Dan itu diketahui istrinya, alias anak kedua Pak Kosen. Yah, berita itu viral sampai ujung desa. Ibu Kosen hanya menangis.
    Baca juga: [Cermin] Ibu: Nak... Sakitmu Sakitku
    Puncaknya, menantu kurang ajar itu memfitnah Pak Kosen. Katanya Pak Kosen memelihara tuyul. Fitnah itu muncul setelah Pak Kosen membeli speda Motor bekas. Padahal, uangnya Pak Kosen dapat dari temannya yang di Surabaya. Pak Kosen dikasih karena memang teman akrab.

    “Dasar menantu tidak tahu diuntung!” Pak Kosen menggerutu lagi.

    Memang, menantunya itu tidak tahu diuntung. Dikasihnya rumah. Dikasihnya pekerjaan.  Pokoknya dia menantu beruntunglah punya mertua Pak Kosen. Tapi, dikasih bintang malah minta rembulan.
    Baca juga: [Cermin] Petuah Nikah dari Sesepuh

    Yang lebih menyakitkan, anak bungsunya malah membela suaminya. Semakin sakit rasanya. Pak Kosen yang merawatnya, mendidiknya, lalu saat dewasa malah membela orang lain. Dia ikut suaminya.

    ***

    Tiba-tiba Pak Kosen masuk ke dalam rumah. Lalu mengajak istrinya ziyarah ke makam mertua laki-lakinya. Hal yang tak pernah terjadi selama 5 tahun. Ibu Kosen heran, tapi nurut saja keinginan suaminya. Setelah itu, Pak Kosen ngajak ke rumah mertua perempuannya, alias ibu istrinya.

    “Maafkan kami Bapak!” kata Pak Kosen di makam.

    “Maafkan kami ibuk, udah lima tahun tidak nyambangi ibuk!” kata ibu Kosen di rumah ibunya.
     Baca juga: [Cermin] Ketika Bapak Kehujanan

    Posting Komentar

    Posting Komentar