-->
lm2ehI3jonma4uzm1pDxTuKLeJW1muj7wMTB5q1K

Ngaji[combine]

Baper[oneright]

Review[oneleft]

Cerpen[three](3)

Lifestyle[hot](3)

Kisah[two]

Aksara[dark](3)

    Page

    Bookmark

    Sejarah Perang Shiffin; Tragedi Peperangan Antara Sayidina ‘Ali dan Sayidina Mu’awiyah

    Setelah dari perang Jamal, Saydina Ali pergi ke Kufah dan sampai di kufah pada bulan Rajab 36 H. Lalu Sayidina Ali menjadikan Kufah sebagai pusat pemerintahan. 

    Dan setelah perang Jamal, meletuslah perang Shiffin, perang saudara sesama umat Islam.

    Setelah bermarkaz di Kufah, Sayidina Ali mengirim Jarir bin Abdullah al-Bajili sebagai utusan kepada Sayidina Muawiyah. 

    Sayidina Ali ingin mengajak Sayidina Mudawiyah untuk membaiat dan bersatu di bawah komadonya. 

    Sayidina Ali juga mengabarkan bahwa sahabat Muhajirin dan Ansar telah berbaiat dan mengangkatnya sebagai Khalifah[1].

    Sejarah perang shiffin/ Saifuddin Syadiri

    Sesampainya di kediaman Sayidina Muawiyah, Jarir bin Abdullah memberikan surat yang dibawanya. 

    Sayidina Muawiyah bermusyawarah dengan Amer bin ‘Ash serta pembesar-pembesar penduduk Syam. 

    Hasil dari musyawarah itu, Sayidina Muawiyah menolak untuk membaiat Saydina Ali sehingga pembunuh Sayidina Utsman dibunuh atau diserahkan kepada Sayidina Muawiyah. 

    Jarir kembali kepada Sayidina Ali dan mengabarkan apa yang telah didengarnya dari Saydina Muawiyah dan pendukungnya[2].

    Sebab Perang Shiffin

    Penolakan Sayidina Muawiyah untuk berbaiat, merupakan sebab utama terjadinya perang shiffin, perang saudara sesama muslim.

     Pertanyaan, kenapa Sayidina Muawiyah tidak mau membai’at? Bukankah membai’at dan taat kepada pemimpin itu sebuah kewajiban?

    Menurut analisis Syaikh Ramadan al-Buthi, Sayidina Muawiyah menganggap bahwa pengangkatan Sayidina Ali menjadi Khalifah tidak sah. 

    Sebab, para sahabat yang termasuk ahlul halli wa al-‘Aqdi terpisah-pisah berada di beberapa tempat di luar Madinah. 

    Dan pengangkatan pemimpin tidak sah tanpa kehadiran mereka semua. 

    Oleh karenanya, Sayidina Muawiyah menolak untuk membaiat Sayidina Ali hingga pembunuh Sayidina Ustman diqishas

    Setelah itu, biarkan umat Islam yang memilih pemimpinnya sendiri.

    Sedangkan Sayidina Ali meyakini bahwa pembaiatannya menjadi Khalifah telah sah dengan pembaiatan penduduk Madinah, tanah hijrah Rasulullah saw.. 

    Sehingga orang yang di luar Madinah wajib membaiat dan taat kepada Sayidina Ali.

    Adapun mengenai pembunuh Sayidina Utsman, Sayidina Ali juga sepakat untuk mengqishasnya dengan dibunuh. 

    Akan tetapi, menurut Sayidina Ali, hal yang paling prioritas untuk dilakukan terlebih dahulu adalah menciptakan pemerintahan yang kuat dan stabil. 

    Sehingga pengkisasan atau pembunuhan terhadap pembunuh Sayidina Utsman berjalan aman tanpa menimbulkan masalah baru[3]. Sebab, orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Sayidina Utsman berjumlah tidak sedikit.

    Kubu Sayidina Ali dan Kubu Sayidina Muawiyah Bertemu

    Setelah Sayidina Ali melihat penolakan Sayidina Muawiyah dan kelompoknya untuk membaiat, Sayidina Ali menganggap bahwa Sayidina Muawiyah telah membangkang pada Jamaah umat Islam dan Pemimpinnya. 

    Maka pada tanggal 12 Rajab 36 H., Sayidina Ali berangkat bersama tentaranya menuju Syam. Lalu bermarkas di An-Nakhilah. 

    Kemudian, datanglah Sayidina Ibnu ‘Abbas dari Bashrah setelah menunjuk pengganti untuk gubernur kota itu. 

    Tujuan Sayidina Ali adalah untuk memerangi kubu Sayidina Muawiyah agar bersatu dengan mayoritas umat Islam dan taat pada pemimpinnya.

    Maka, terjadilah perang Shiffin, perang yang terjadi karena tidak menemukan jalan keluar lagi.

    Setelah mendengar keberangkatan Saydina Ali, Sayidina Muawiyah juga berangkat bersama tentaranya dari Syam. 

    Lalu kedua kubu bertemu di dataran rendah Shiffin, di tepi sungai Efrat. Selama dua hari, kedua kubu tidak saling mengirim surat.

     Kemudian, Sayidina Ali mengirim utusan kepada Sayidina Muawiyah untuk taat dan bersatu bersama mayoritas umat Islam. 

    Sayidina Ali juga meyakinkan Sayidina Muawiyah bahwa pembunuh Utsman pasti diqishas dalam waktu dekat.

    Akan tetapi, Sayidina Muawiyah tetap pada pendiriannya, tidak mau membaiat sampai pembunuh Sayidina Utsman dibunuh. 

    Menurut Sayidina Muawiyah, pembunuhan dan pengqishashan terhadap pembunuh Sayidina Utsman harus diprioritaskan dan didahulukan dari apapun. 

    Termasuk dari pengangkatan seorang pemimpin. Sayidina Muawiyah juga menganggap berhak untuk menuntut itu. Sebab, dia adalah sepupu Sayidina Utsman[4].

     

    Perang Kecil sebelum Perang Shiffin yang Dahsyat

    Kemudian Sayidina Ali mengirim sesoerang yang memiliki kemuliaan. Dia ditemani sekelompok pasukan. Sayidina Muawiyah juga mengirim sekelompok pasukannya untuk melawan. 

    Lalu terjadi peperangan dari atas kuda mereka. Lalu, mereka sama-sama kembali. Peperangan ini termasuk peperangan kecil. 

    Kedua kubu sama-sama tidak ingin berperang langsung secara besar-besaran. Kedua kubu sama-sama hawatir takut terjadi pemusnahan massal umat Islam Iraq atau Syam. 

    Oleh karenanya, selama bulan Dzul Hijjah terjadi perang kecil-kecil. Kadang dalam sehari terjadi perang dua kali.

    Ketika memasuki bulan Muharram tahun 37 H, kubu Sayidina Ali dan kubu Sayidina Muawiyah sepakat untuk gencatan senjata. 

    Mereka sama-sama ingin mencari jalan keluar sehingga bisa saling berdamai dan tidak saling menumpahkan darah. Terjadilah saling kirim surat di antara kedua kubu. 

    Andaikan gencatan senjata ini melahirkan sebuah kesepekatan, tentu perang Shiffin tidak akan terjadi. Akan tetapi, jalan keluar belum juga ditemukan sampai masa gencatan senjata berakhir.

    Akhirnya Perang Shiffin Benar-Benar Meletus

    Di awal bulan Safar tahun 37 H, Sayidina Ali melihat bahwa kubu Sayidina Muawiyah tetap pada pendiriannya.

     Pada saat itulah, Sayidina Ali memerintahkan juru bicaranya untuk menyeru, “Wahai penduduk Syam.. Amirul Mukminin telah memberi waktu kepada kalian agar kembali kepada kebenaran.

     Akan tetapi, kalian tak henti-henti membangkang dan tidak menerima ajakan. Kali ini aku telah menolak kalian sebagai balasan perilaku kalian. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang khianat.[5]

    Maka kubu Sayidina Ali dan kubu Sayidina Muawiyah sama-sama siap perang. 

    Sayidina Ali berpesan kepada tentaranya agar tidak memulai perang hingga orang Syam yang memulainya, tidak boleh membunuh orang yang terluka, dan tidak boleh mengejar orang yang lari, dan tidak boleh membuka aurat perempuan dan menghinakannya.

     

    Tampaklah Mukjizat Rasulullah SAW

    Terjadilah pertempuran dahsyat di antara kedua kubu. Di hari yang kesembilan, salah satu sahabat Rasulullah, yaitu Sayidina Ammar terbunuh. 

    Maka bimbanglah kubu Sayidina Muawiyah. Karena dulu Rasulullah pernah mengatakan kepada Ammar, “Kamu akan dibunuh oleh kelompok yang membangkang.” 

    Dan ternyata Sayidina Ammar ada di pihak Sayidina Ali dan dibunuh oleh kubu Sayidina Muawiyah[6].

    Dari terbunuhnya sahabat Ammar, mulai tampaklah siapa yang paling mendekati pada kebenaran di perang Shiffin ini. Sayidina Ali atau Sayidini Mu’awiyah?

    Bertahkim pada al-Quran

    Ditambah, kubu Sayidina Muawiyah terdesak dan hampir kalah. Lalu, Sayidina Muawiyah bermusyawarah dengan Sayidina Amer bin Ash. 

    Sayidina Amer bin Ash memberi masukan agar mengajak kubu Sayidina Ali untuk berdamai dan bertahkim kepada al-Quran. Lalu Sayidina Muawiyah memerintah pasukannya untuk mengangkat mushaf al-Quran di ujung tombak.

     Lalu, seorag juru bicara mengatakan, “Ini kitab Allah (menjadi penengah) di antara kami dan kalian.”

    Melihat hal itu, kubu Sayidina Ali terpecah. Sebagian tentara menerima ajakan untuk bertahkim (abitrase) pada al-Quran. 

    Sebagian yang lain termasuk Sayidina Ali tidak mau menerima. Sayidina Ali menganggap bahwa ajakan tahkim itu hanya tipuan saja. 

    Apa lagi, kubu Sayidina Ali sudah mendekati kemenangan. Akan tetapi, Sayidina Ali terpaksa menerima ajakan tahkim. 

    Sebab, kelompok yang menerima ajakan tahkim sangat banyak dan mayoritas pasukan Sayidina Ali.

    Lalu Sayidina Ali mengirim al-Asy’ats bin Qasy untuk menanyakan apa keinginan Sayidina Muawiyah dengan mengangkat al-Quran dalam perang Shiffin. Lalu, Sayidina Muawiyah menjawab:

    “Kami dan kalian kembali kepada al-Quran. Yaitu dengan cara kami memilih satu orang yang kami ridai dari kami, dan kalian memilih satu orang yang kalian ridai dari kalian. Kemudian kita semua berjanji untuk memberi mereka wewenang agar membuat keputusan yang sesuai dengan al-Quran. Apapun keputusan mereka berdua, kita ikuti.”

    Lalu kubu Sayidina Muawiyah memilih Amer bin Ash dan kubu Sayidina Ali memilih Sahabat Abu Musa Al-Asyari. 

    Waktu untuk memutuskan persoalan diberi jangka sampai bulan Ramdan dan akan dilakukan di Dumatul Jandal. Lalu kedua kubu pulang ke asal masing-masing[7]. Dengan kesepatakan ini, berakhirlah perang Shiffin.

     

    Cara Menyikapi Perselisihan di Antara Sahabat Rasulullah SAW

    Setelah membaca sejarah perang Shiffin di atas, ada beberapa poin yang perlu penulis tekankan sebagaimana berikut:

    Pertama, kita tidak boleh merendahkan apa lagi mencela sahabat Rasulullah saw.. Kita tidak boleh mencela dan merendahkan Sayidina Ali, kita juga tidak boleh merendahkan dan mencela Sayidina Muawiyah. 

    Keduanya adalah sahabat Rasulullah saw. dan sama-sama memiliki keistimewaan dan jasa kepada Islam. 

    Apalagi ada perintah langsung dari Rasulullah saw. untuk tidak mencela dan merendahkan sahabatnya.

    Terjadi perang antar sahabat Rasulullah saw. sebagaimana dalam perang Shiffin tidak mengurangi kemuliaan dan keadilan para sahbat Rasulullah saw..

    Oleh karenanya, ulama Ahlussunnah Wal Jamaah memiliki konsep untuk menyikapi peperangan sahabat Rasulullah. 

    Sebagaimana ditulis oleh Imam Ahmad Ibnu Ruslan dalam Matnu az-Zubadnya,

    ومـا جَـرَى بـيـن الصِّـحَـابِ نَسْـكُـتُ

    عــنــه وأجــــرَ الاجـتِـهَــادِ نُـثْــبِــتُ

    Artinya: Dan pada apa yang terjadi di antara sahabat Rasulullah, kita diam (tidak berkomentar) tentangnya.

    Dan pahala Ijtihad kita tetapkan untuk para sahabat Nabi (para sahabat yang berselisih tetap mendapatkan pahala karena perselisihan lahir dari Ijtihad)”

     

    Sayidina Ali Lebih Dekat pada Kebenaran

    Kedua, Sayidina Ali dan Sayidina Muawiyah sama-sama berijtihad. Menurut ijtihad Sayidina Ali, mengqishah dan membunuh para pembunuh Sayidina Utsman adalah keharusan. 

    Akan tetapi, sebelum mengqishas para pembunuh, harus ada pemerintahan yang kuat dan stabil terlebih dahulu. Sehingga mengqishas para pembunuh tidak melahirkan masalah baru.

     Begitu juga, tanpa adanya pemerintahan yang stabil, tidak mungkin bisa mengqishash para pembunuh Sayidina Utsman yang sangat banyak.

    Oleh karenanya, Sayidina Ali menerima baiat dari penduduk Madinah. Dengan baiat itu, Sayidina Ali berpendapat bahwa kekhilfahan Sayidina Ali telah sah. 

    Lalu, Sayidina Ali meminta orang-orang di luar Madinah untuk membaiat kepada beliau. Dengan baiat dan persatuan, umat Islam bisa bersatu dan bersama-sama mengqishahs pembunuh Sayidina Utsman.

    Akan tetapi, Sayidina Muawiyah berpendapat lain. Sayidina Muawiyah berijtihad bahwa pembunuh Sayidina Utsman diqishah terlebih dahulu atau diserahkan kepada Sayidina Muawiyah. 

    Setelah itu, Sayidina Muawiyah akan membaiat kepada Sayidina Ali. Sayidina Muawiyah berhak menuntut darah Sayidina Utsman. 

    Karena Sayidina Utsman adalah sepupunya. Nahasnya, para pembunuh Saydina Utsman itu membaur dengan pasukan Sayidina Ali.

    Oleh karenanya, Sayidina Ali maupun Sayidina Muawiyah sama-sama dalam kebenaran. Insyaallah sama-sama mendapatkan pahala dalam ijtihadnya. 

    Hanya saja, Sayidina Ali lebih mendekati kebenaran. Hal ini bisa dilihat dengan terbunuhnya sahabat ‘Ammar dalam perang Shiffin oleh kubu Sayidina Muawiyah. 

    Beberapa tahun sebelumnya, Rasulullah mengabarkan bahwa Sahabat Ammar akan dibunuh oleh kelompok yang memberontak.

    Selain itu, yang memerangi kaum khowarij adalah Sayidina Ali dan pasukannya. Rasulullah bersabda, bahwa kaum Khowarij akan diperangi oleh salah satu dua kelompok yang lebih dekat kepada kebenaran. 

    Dengan demikian, dalam perang Shiffin, Sayidina Ali lebih mendekati kebenaran dari pada Sayidina Muawiayh.

    Baca juga:

    Ketiga, dalam pandangan Ahlussunnah Wal Jamaah, Khalifah yang sah setelah Sayidina Utsman adalah Sayidina Ali. 

    Sayidina Mua’wiyah bukan khalifah keempat dan memang Sayidina Muawiyah tidak mengaku Khalifah. 

    Sayidina Muawiyah baru menjadi Khalifah setelah Sayidina Ali wafat dan Sayidina Hasan, putra Sayidina Ali dan cucu Rasulullah menyerahkan kekuasaan kepada Sayidina Muawiyah. 

    Dengan tekad Sayidina Hasan, bersatulah umat Islam di bawah komando Sayidina Muawiyah.

    Hikmah Perang Shiffin

    Keempat, banyak hikmah dari peperangan antara Sayidina Ali dan Sayidina Muawiyah. Di antaranya, hukum dan tata cara menghadapi bughat diambil dari peristiwa shiffin. Subhanallah. Pasti ada hikmah dari segala kejadian.

    Begitulah sejarah perang Shiffin, perang antar sahabat Rasulullah saw. yang penuh pengorbanan dan bukti keberanian. Wallahu A’lamu Bisshowab



    [1] Fiqhus Sirah al-Buthi

    [2] Tarikh Khulafa’ Sidogiri

    [3] Fiqhus Sirah

    [4] Fiqhus Sirah

    [5] Fiqhus Sirah

    [6] Tarikh Khulafa Sidogiri

    [7] Fiqhus Sirah

    Posting Komentar

    Posting Komentar