-->
lm2ehI3jonma4uzm1pDxTuKLeJW1muj7wMTB5q1K

Ngaji[combine]

Baper[oneright]

Review[oneleft]

Cerpen[three](3)

Lifestyle[hot](3)

Kisah[two]

Aksara[dark](3)

    Page

    Bookmark

    Menanamkan Prinsip “Tangan di Atas Labih Baik dari Tangan di Bawah”


    Dulu sekali, saya pernah menulis biografi salah satu kiai. Nama kiai itu adalah KH. Cholil bin KH. Nawawie Sidogiri. Ulama besar di masanya. Bahkan, banyak ulama mengatakan, beliau termasuk waliyullah (kekasih Allah).

    Satu hal yang sangat mengesankan bagi saya, beliau memiliki prinsip “Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah”.

    Konon, beliau memiliki dua lumbung padi. Satunya diperuntukkan untuk masyarakat yang membutuhkan. Satunya untuk keperluan keluarga.

    fr.freepik.com

    Akan tetapi, suatu ketika, lumbung padi yang diperuntukkan untuk masyarakat itu habis. Maka, lumbung padi yang diperuntukkan untuk keluarga beliau sedekahkan kepada masyarakat.


    Beliau memang senang memberi, tapi sedih jika diberi. Karena beliau tidak ingin balasan. Jika pun ada balasannya, beliau ingin balasan itu di akhirat. Itulah prinsip “Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah”.

    Prinsip KH. Cholil Nawawie Sidogiri ini sejalan dengan prinsip yang diajarkan oleh Rasulullah saw.. Rasulullah ingin umat Islam memiliki jiwa pemberi, bukan jiwa peminta. Rasulullah ingin umatnya memiliki jiwa ‘di atas’ bukan jiwa ‘di bawah’.

    Oleh karenanya, tak heran jika kemudian Rassulullah saw. bersabda:

    اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُفْلَى وَالْيَدُ الْعُلْيَا المُنْفِقَة والسُفْلى السَائِلَة

    “Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah. Tangan di atas adalah orang yang memberi, tangan di bawah adalah orang yang meminta.” (HR. Bukhari Muslim)

    Sabda Rasulullah saw. tersebut menjelaskan, orang yang memberi itu lebih baik dari pada orang yang meminta. Dengan kata lain, sebenarnya Rasulullah ingin kita menjadi pemberi. Kita menjadi orang yang berjiwa ‘di atas’. Bukan orang yang berjiwa ‘di bawah’ alias peminta-minta.

    Arti Hadis “Tangan di Atas Lebih Baik dari Tangan di Bawah”

    Menurut mayoritas ulama, yang dimaksud dengan “Yad al-Ulya” (tangan di atas) adalah orang yang memberi. Sedangkan yang dimaksud dengan “Yad as-Sufla” (tangan di bawah) adalah yang meminta-minta.

    Menjelaskan hadis di atas, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani juga berkomentar dalam Kitab Fath al-Bâri. Beliau membagi kondisi seseorang menjadi empat (4). Pertama, orang yang memberi. Kondisi ini menurut banyak hadis disebut “tangan di atas”.

    Kedua, orang yang meminta. Kondisi ini disebut dengan “tangan di bawah”. Sebagaimana ungkapan banyak hadis.

    Ketiga, orang yang tidak mau menerima pemberian walaupun ada orang yang mau memberinya. Kondisi ini termasuk juga disebut “tangan di atas” secara maknawi (tersirat).

    Keempat, orang yang mengambil pemberian jika ada orang yang memberi. Tapi, dia tidak meminta-minta. Kondisi yang keempat ini, ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan termasuk “tangan di bawah”.

    Pendapat ini sangat cocok andaikan dilandaskan pada pengelihatan mata. Karena pada kenyataannya, orang yang mengambil pemberian itu tangannya di bawah. Meskipun dia tidak meminta.

    Adapun jika dilihat dari hal yang maknawi, maka tidak bisa dipukul rata. Karena kadang mengambil pemberian tanpa meminta itu malah lebih baik.

    Maka tak heran jika kemudian Imam Ibnu Hibban mengatakan, “Orang yang bersedekah itu lebih utama dari pada orang yang meminta-minta. Tapi, (orang yang bersedekah) tidak lebih utama dari orang yang mengambil sedekah tanpa meminta-minta.

    Imam al-Munawi juga berkomentar dalam kitab at-Taisir, menerima pemberian, tapi hati tidak terlalu berharap untuk diberi itu berkah.

    Maka, jika ada orang memberi padahal kita tidak meminta, maka kita boleh mengambilnya. Jika kita tidak membutuhkan, kita bisa memberikannya pada orang lain yang membutuhkan.

    Berkahnya begini, saat kita mengambil pemberian, berarti kita menekan keegoisan kita. Kita menekan rasa agar dihormati orang atau disanjung orang. Saat memberikannya lagi pada orang lain, berarti kita mengambil harta dunia hanya sekedarnya saja.

    Tentu, kedua-duanya adalah baik untuk kita sendiri. Sepertinya, Imam al-Munawi lebih cendrung untuk memperbaiki hati.

    Selain itu,- masih menurut Imam al-Munawi- menolak pemberian orang itu tidak pasti baik. Juga, tidak pasti aman dari fitnah.

    Benar juga ya. Ketika menolak lalu timbul sombong di hati, malah itu bahaya. Atau menolak pemberian, lalu orang yang memberi itu kecewa, itu juga tidak baik. Sebab, dalam Islam membahagiakan orang lain itu dianjurkan.

    Menurut Imam al-Qari dalam kitabnya, Umdah al-Qari Syarh Sahih al-Bukhari, ada beberapa hal yang bisa diambil pelajaran dari hadis di atas. Diantaranya, Rasulullah memotivasi kita untuk bersedekah atau memberi di jalan kebaikan.

    Pula, makruh bagi kita untuk meminta-minta. Jadi, hadis di atas memotivasi kita agar tidak meminta-minta. Boleh meminta-minta ketika dalam kondisi darurat. Misalnya, kita tidak memiliki makanan sama sekali sehingga takut mati.

    Dari pemaparan di atas, bisa kita tanamkan dalam hati, bahwa berjiwa “di atas” itu lebih baik dari berjiwa “di bawah”. Kita tidak perlu meminta, karena yang lebih baik adalah memberi.

    Tapi, jika diberi tanpa meminta-meminta, tidak apa-apa untuk mengambilnya. Niati saja untuk menghormati orang yang memberi. Atau ingin membuatnya bahagia.

    Hal ini senada dengan pendapat Imam Ibnu Bathal. Menurut beliau, hadis ini memotivasi kita agar mengejar hal-hal yang mulia. Juga, menjauhi hal-hal yang hina. Karena Allah senang pada sesuatu yang mulia.

    Prinsip Hidup adalah Memberi bukan Menerima

    Ada pemaparan bagus dalam salah satu buku motivasi. Judulnya “Mission Ini Possible”. Dalam buku yang dikarang oleh Misbahul Huda itu dijelaskan, sebenarnya prinsip hidup ini adalah memberi bukan menerima.

    Kutipannya saya tulis sebagaimana berikut, “Hakikat keseimbangan menuturkan, memberi sama dengan menerima, pemberi terbaik biasanya juga akan menjadi penerima terbaik, karena prinsip hidup sebenarnya adalah memberi bukan menerima.”

    Apa yang tertulis dalam buku tersebut, sama dengan pepatah, “Siapa yang menanam dia yang menuai”. Dia yang memberi suatu hari dia akan menerima. Jika tidak menanam, jangan harap bisa memanen.

    Ketika kita memberi senyuman kepada orang lain, orang lain akan memberi senyuman juga kepada kita. Ketika kita memberi hormat pada orang lain, orang lain juga memberi hormat kepada kita.

    Hal demikian juga bisa diperaktekkan dalam dunia kerja. Misalnya, jika kita bekerja dengan sebaik-baiknya, maka kita akan menerima gaji yang baik pula.

    Prinsip ini tidak boleh di balik. Kita tidak boleh meminta senyuman atau penghormatan jika kita belum memberinya. Kita juga tidak bisa menerima gaji yang banyak jika kita belum bekerja yang sebaik-baiknya.

    Prinsipnya masih sama. Berjiwa ‘di atas’ itu lebih baik’ dari pada berjiwa ‘di bawah’.

    Saat Memberi Tidak Perlu Berharap Diberi

    Meski demikian, saat memberi tidak perlu berharap agar diberi. Sebab, jika demikian, maka kita masih berjiwa meminta-minta. Memberi ya memberi saja. Niatkan karena Islam ingin kita menjadi pemberi.

    Atau kita ingin pahala dari Allah. Biar Allah yang membalas pemberian kita. Allah yang memberinya kelak di surga.

    Kembali ke cerita KH. Cholil Nawawie Sidogiri di atas. Beliau saat memberi tidak ingin imbalan apa-apa. Beliau memberi ya memberi. Pemberian beliau ikhlas karena Allah.

    Pernah suatu ketika, beliau bersedekah satu sarung. Tak lama kemudian, ada orang bersedekah kepada beliau 10 sarung. Kemudian beliau bersedekah lagi. Tak lama kemudian ada orang memberi beliau barang yang sama. Tapi, jumlahnya lebih banyak.

    Maka beliau berkata, bahwa beliau takut balasan Allah hanya diberikan di dunia saja. Nanti di akhirat beliau tidak mendapatkan apa-apa.

    Posting Komentar

    Posting Komentar