Debat Sayidina Ibnu ‘Abbas dengan Khawarij ini semakin memperjelas betapa tidak berilmunya kuam Khowarij.
Mereka minim ilmu, tapi sok tahu. Mereka tidak faham agama dengan detail, tapi merasa paling faham agama.
Akhirnya, mereka menjadi orang yang suka menyalahkan, menyelewengkan pemahaman Islam, dan menghancurkan Islam dari dalam.
Bahkan, kaum Khawarij ini menjadi kejam karena
salah memahami agama.
![]() |
Debat Ibnu Abbas dengan Khawarij |
Kisah awal
mula debat Ibnu ‘Abbas dengan Khawarij sebagaimana berikut:
Seusainya dari perang Shiffin, Sayidina Ali dan pasukannya pulang. Celakanya, pasukan Sayidina Ali terpecah.
Sebagian masih setia pada Sayidina Ali, sebagian yang lain tidak
puas dengan keputusan Sayidina Ali dan menganggap Sayidina Ali tersesat bahkan
kafir.
Kemudian kelompok yang menyesatkan Sayidina Ali ini memisahkan diri dan membentuk sebuah golongan yang bertempat di Harura’.
Di kemudian hari, kelompok ini dikenal dengan Khawarij.
Tak lama setelah itu, Sayidina Ibnu ‘Abbas meminta izin kepada Sayidina Ali untuk berdialog dengan Khawarij ini.
Awalnya Sayidina Ali tidak mengizinkan. Sayidina Ali takut, kelompok khawarij melakukan hal buruk pada anak pamannya itu.
Tapi,
Sayidina Ibu ‘Abbas meyakinkan bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Sayidina Ali
pun mengizinkan.
Sayidina
Ibnu ‘Abbas siap-siap. Beliau memakai pakaian yang paling bagus dari pakaian
Yaman. Lalu beliau berangkat menuju kelompok berfaham kaku itu.
Sesampainya di tempat Khawarij, Khawarij sempat mempermasalahkan pakaian bagus yang dikenakan oleh Sayidina Ibnu ‘Abbas.
Tapi, dengan kecerdasan dan keilmuannya, Sayidina Ibnu
‘Abbas dapat membungkam Khawarij.
Sayidina Ibnu ‘Abbas menjelaskan, “Kenapa kalian mencela pakaianku. Padahal aku telah melihat Rasulullah saw. memakai pakaian yang paling bagus dari pakaian Yaman.
Allah juga memperbolehkan memakai pakaian bagus dan indah. Sebagaimana dalam al-Quran:
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ
وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ
يَعْلَمُونَ (32)} [الأعراف: 32]
“Katakanlah Wahai Muhammad, “Siapakah yang
mengharamkan perhiasan (seperti baju bagus) dari Allah yang telah disediakan
untuk hamba-hambaNya dan rezeki yang baik?” (QS. al-Araf:32)"
Ayat ini menjelaskan, boleh memakai pakaian yang bagus dan indah, serta
boleh mamakan makanan dan minuman yang enak dan lezat.
Mendengar argumen Sayidina Ibnu ‘Abbas, kaum Khawarij tidak berkomentar. Lalu, mereka bertanya apa keperluan Sayidina Ibnu ‘Abbas.
Sayidina Ibnu ‘Abbas mengatakan
bahwa beliau ingin berdialog dan menyampaikan pemahaman para sahabat Rasulullah
saw..
Sayidina Ibnu ‘Abbas juga menegaskan, al-Quran turun di tengah-tengah sahabat nabi, sahabat nabilah yang paling faham pada wahyu-wahyu Allah.
Sedangkan dari kelompok Khawarij
tidak ada satupun dari sahabat Rasulullah saw..
Debat Ibnu ‘Abbas dengan Khawarij pun segera dimulai. Sayidina Ibnu ‘Abbas bertanya, apa yang membuat kaum Khawarij membenci dan mengingkari Sayidina Ali dan para sahabat yang lain.
Kaum Khawarij menjelaskan bahwa ada tiga hal yang membuat mereka
membenci Sayidina Ali dan para sahabat Rasulullah saw..
Pertama, Sayidina Ali menyerahkan hukum pada seseorang, padahal dalam al-Quran dijelaskan, hukum itu hanya milik Allah.
Seharusnya kembali kepada firman Allah, yakni al-Quran. Bukan bertahkim pada
seseorang.
Kedua, Sayidina Ali berperang tapi tidak menawan tawanan dan mengambil ghanimah (harta rampasan).
Padahal, jika
orang yang diperangi adalah kafir, tentu boleh ditawan dan diambil hartanya.
Jika orang yang diperangi bukan kafir, tentu tidak boleh diperangi.
Ketiga, Ali menghapus kata “Amirul Mukminin (Pemimpin orang yang beriman)” dalam perjanjian.
Jika demikian, berarti Ali
pemimpin orang-orang kafir.
Lalu Sayidina Ibnu ‘Abbas berkata, “Apakah jika aku menyebutkan dalilnya dalam al-Quran atau dari hadis Rasulullah, kalian rela mengikutiku dan membuang pendapat kalian?”
Orang Khowarij menjawab, “Iya”.
Dalam debat
Ibnu ‘Abbas dengan Khawarij ini, Sayidina Ibnu ‘Abbas mulai menjelaskan dalil-dalilnya.
Sayidina Ibnu Abbas berkata:
Pertama,
kalian menganggap Sayidina Ali tersesat karena Sayidina Ali menyerahkan urusan
Allah pada seseorang agar memutuskan. Padahal seharusnya kembali kepada
al-Quran.
Jawabannya adalah dalam beberapa masalah, Allah swt. memerintahkan agar menyerahkan keputusan kepada seseorang.
Misalnya, ketika
ada orang melanggar Ihram, Allah memerintah agar dua orang adil yang memutuskan
harga denda pelanggaran itu. Allah berfirman dalam al-Quran:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقۡتُلُواْ ٱلصَّيۡدَ وَأَنتُمۡ حُرُمٞۚ وَمَن
قَتَلَهُۥ مِنكُم مُّتَعَمِّدٗا فَجَزَآءٞ مِّثۡلُ مَا قَتَلَ مِنَ ٱلنَّعَمِ
يَحۡكُمُ بِهِۦ ذَوَا عَدۡلٖ مِّنكُمۡ هَدۡيَۢا بَٰلِغَ ٱلۡكَعۡبَةِ أَوۡ
كَفَّٰرَةٞ طَعَامُ مَسَٰكِينَ أَوۡ عَدۡلُ ذَٰلِكَ صِيَامٗا لِّيَذُوقَ وَبَالَ
أَمۡرِهِۦۗ عَفَا ٱللَّهُ عَمَّا سَلَفَۚ وَمَنۡ عَادَ فَيَنتَقِمُ ٱللَّهُ
مِنۡهُۚ وَٱللَّهُ عَزِيزٞ ذُو ٱنتِقَامٍ
٩٥
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh hewan buruan, ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, dendanya (ialah menggantinya) dengan hewan ternak yang sepadan dengan (hewan buruan) yang dibunuhnya menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai hadyu (hewan kurban) yang (dibawa) sampai ke Ka‘bah
atau (membayar) kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin atau berpuasa, seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, agar dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan perbuatan yang telah lalu.
Siapa
kembali mengerjakannya, pasti Allah akan menyiksanya. Allah Maha Perkasa lagi
Maha Memiliki (kekuasaan) untuk membalas.” (Al-Maidah, ayat 95)
Ayat ini menjelaskan bahwa jika ada orang yang membunuh hewan buruan saat ihram, maka harus mengganti dengan hewan yang sepadan.
Nah, hewan yang sepadan ini
diputuskan oleh dua orang yang adil.
Lalu
Sayidina Ibnu ‘Abbas bertanya, “Mana yang lebih utama menurut kalian,
menyerahkan keputusan kepada seseorang dalam masalah denda membunuh hewan
buruan atau menyerahkan keputusan kepada seseorang agar berdamai dan tidak
saling menumpahkan darah?”
Begitu juga ketika ada perselisihan sengit antara suami dan istri. Maka keduanya diperintah untuk mengutus dua orang untuk mencari jalan keluar.
Kalau dalam masalah suami
istri saja boleh menyerahkan keputusan kepada seseorang, apa lagi menyangkut
nyawa orang banyak!
Bagaimana, apakah kalian sependapat denganku? Orang Khowarij menjawab, “Iya”.
Itulah dalil
pertama dalam dialog Ibnu ‘Abbas dengan Khawarij.
Kedua, kalian menganggap Sayidina Ali tersesat karena berperang tapi tidak menawan orang yang kalah dan mengambil hartanya.
Pertanyaan saya, “Apakah kalian ingin menawan Sayidah Aisyah, ibu
kalian? Lalu kalian menganggap halal melakukan apapun yang dihalakan untuk
tawanan kepada Sayidah Aisyah?
Jika kalian melakukan hal itu, kalian telah kafir. Karena Sayidah Aisyah adalah ibu kalian.
Jika kalian mengatakan bahwa Sayidah Aisyah bukan ibu kalian, kalian juga
kafir. Karena Allah berfirman dalam al-Quran:
ٱلنَّبِيُّ
أَوۡلَىٰ بِٱلۡمُؤۡمِنِينَ مِنۡ أَنفُسِهِمۡۖ وَأَزۡوَٰجُهُۥٓ أُمَّهَٰتُهُمۡۗ
“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin
dibandingkan diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu mereka.” (QS.
Al-Ahzab: 06)
Maka
kalian, berputar-putar di antara dua kekufuran. Seperti apapun pendapat kalian,
kalian akan terjerumus dalam kekufuran!”
“Bagaimana,
apakah kalian sepekat dengan pendapatku” tanya Sayidina Ibnu ‘Abbas. Orang Khawarij
mengatakan, “Iya”.
Ketiga, kalian menganggap Sayidian Ali
tersesat karena menghapus kata “Pemimpin orang-orang yang beriman” dari nama
“Ali” dalam perjanjian dengan pihak Sayidina Muawiyah.
Jawabannya, dulu saat perjanjian Hudaibiyah,
Nabi Muhammad menghapus kata “Rasulullah” dari nama “Muhammad” karena orang
kafir tidak mau. Nabi Muhammad menulis “Muhammad bin Abdullah” dalam perjanjian
bukan “Muhammad Rasulullah”.
Demi Allah,
Rasulullah lebih mulia dari Ali dan Nabi Muhammad tidak terhapus sebagai rasul
hanya gara-gara tidak menulis kata “Rasulullah” dalam pernjanjian.
Setelah
dialog Ibnu ‘Abbas dengan Khawarij ini, maka bertaubatlah 2000 orang khawarij
dan kembali dalam barisan para sahabat Rasulullah SAW..
Dari
penjelasan ini tampak sekali, bahwa sebenarnya orang Khawarij itu memiliki
semangat dahsyat dalam berislam.
Namun, mereka minim ilmu tentang Islam sehingga suka menyalahkan.
Tentu, orang-orang yang seperti Khowarij ini tetap ada sampai
sekarang. Suka menyesatkan orang, tidak mau pada pendapat ulama salaf karena
dianggap bertentangan dengan dalil, padahal mereka yang belum tahu dalilnya.
Maka, jika
ada orang mengajak kembali kepada al-Quran dan hadis tanpa mengutip pendapat
ulama yang ahli di bidangnya, perlu diwaspadai. Jangan-jangan mereka khawarij
di masa kini!
Itulah
sejarah debat Ibnu ‘Abbas dengan Khawarij. Semoga menjadi pelajaran bagi kita
semua. Amin!
Posting Komentar