-->
lm2ehI3jonma4uzm1pDxTuKLeJW1muj7wMTB5q1K

Ngaji[combine]

Baper[oneright]

Review[oneleft]

Cerpen[three](3)

Lifestyle[hot](3)

Kisah[two]

Aksara[dark](3)

    Page

    Bookmark

    Haruskah Menegakkan Khilafah?

     

    Ada sebagian umat Islam Indonesia yang ingin mengelu-elukan Khilafah. Sedikit-sedikit teriak Khilafah. 

    Ada penjajahan di Palestina, solusinya Khilafah. Ada masalah ekonomi, teriak Khilafah. Semua masalah, solusinya Khilafah.

    Seakan-akan ketika Khilafah ditegakkan selesailah semua masalah. Bangsa menjadi sejahtera. Hidup menjadi makmur dan bahagia. Pokoknya, kita harus menegakkan khilafah?

    Betulkah pemikiran HTI ini?

    Yuk kita bahas. Agar kita tidak salah faham dan salah langkah. Terlebih sampai menuduh NKRI sebagai negeri kafir dan sampah.

     

    Hukum menegakkan khilafah | Saifuddin Syadiri

    Khilafah Islam Sejak Dulu Tidak Hanya Satu

    Kalau kita lihat sejarah pemerintahan Islam pasca sahabat Rasulullah, masalah-masalah tetaplah ada. Mulai dari krisis ekonomi sampai krisis kemanusiaan. 

    Contohnya, ketika Yazid berkuasa, Sayidina Husain dan keluarga dibantai habis-habisan.

    Atau ketika Khilafah Abbasiyah berdiri, terjadilah pembunuhan besar-besaran terhadap keluarga Khilafah sebelumnya, yaitu Khilafah Umayyah. Pembantaian ini bisa disebut genosida. Sehingga keluarga Bani Umayyah lari. 

    Di antara yang lari dan selamat adalah Abdurrahman ad-Dakhil. Dia lari ke Andalus dan mendirikan pemerintahan Umayyah ke dua di sana.

    Maka beridirlah dua kekhilafahan Islam kala itu. Ada Khilafah ‘Abbasiyah di timur tepatnya di Kufah dan Khilafah Umayyah yang ke dua di barat, yakni di Andalus. 

    Artinya, sejak saat itu, pemimpin Islam di dunia Islam tidak hanya satu. Bahkan di masa-masa setelahnya, banyak khilafah atau negara-negara yang berdiri dan memiliki kedaulatan sendiri.

    Lalu, masihkah harus meneggakkan khilafah?

    Apa Arti Khilafah?

    Arti Khilafah dalam bahasa adalah pergantian. Sementara Khalifah adalah orang yang mengganti. 

    Oleh karenanya, pemimpin yang terpilih disebut Khalifah karena mengganti pemimpin sebelumnya, sedangkan sistem pemerintahannya disebut Khilafah.

    Syaikh Wahbah az-Zuhaili menulis, Khilafah itu juga bisa disebut dengan Imâmah al-Udzmâ (kepemimpinan tertinggi. 

    Juga bisa disebut Imâratul mû’minîn (pemerintahan orang-orang yang beriman. Walaupun redaksinya berbeda, tapi maknanya sama, yaitu kekuasaan pemerintahan yang tertinggi.

    Adapun dalam istilahnya, para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikannya. Namun dari macam-macam defenisi yang ada mengerucut pada satu pemahaman, yakni kepemimpinan untuk menjaga agama (Islam) dan mengatur urusan dunia.

    Seoruang ilmuan terkemuka, Ibnu Khaldun berpendapat, Khilafah adalah pertanggung jawaban atas seluruh rakyat untuk menuntun mereka ke jalan yang diridai syariat agar mendapatkan kemaslahatan akhirat dan kemaslahatan duniawi.

    Sedangkan Imam at-Taftazani beprendapat, Khilafah adalah kepemimpinan teratas yang bertanggung jawab mengenai urusan keagamaan dan keduniaan. 

    Sebenarnya, dua tugas ini merupakan tugas Nabi Muhammad saw. sebagai utusan Allah. Karena Nabi Muhammad sudah tiada, maka digantilah khalifah sebagai pemimpin dalam Islam.

    Dari definisi tersebut bisa disimpulkan bahwa prinsip Khilafah ada dua, yaitu menjaga agama Islam dan mengatur urusan dunia. 

    Oleh karenanya, Syaikh Wahbah az-Zuhaili menegaskan dalam kitab al-Fiqh al-Islamî Wa Adillatuh, bahwa bernegara tidak harus memenuhi syarat-syarat atau keriteria-kriteria Khilafah. 

    Yang terpenting adalah adanya sebuah negara yang dipimpin oleh seseorang yang bisa mengatur urusannya dan menjaga kedaulatan dari musuh.

    Sekali lagi, haruskah meneggakan khilafah? Lanjut…

     

    Tidak Ada Sistem Baku dalam Bernegara

    Memang, dalam Islam tidak ada sistem baku dalam bernegara. Tidak ada satu pun hadis mau pun ayat Al-Quran yang menjelaskan bagaimana sistem bernegara. 

    Yang diajarkan Islam hanya prinsip-prinsipnya. Seperti adil, amanah, dan lain-lain.

    Hal ini juga bisa dilihat dari pemilihan Khalifah empat yang berbeda-beda. Sayidina Abu Bakar menjadi Khalifah pertama dengan cara musyawarah mufakat. 

    Sayidina Umar bin Khattab menjadi Khalifah kedua dengan ditunjuk oleh Sayidina Abu Bakar sebelum wafat.

    Adapun Sayidina Utsman menjadi Khalifah karena dipilih oleh waliyul ‘ahdi. Jadi, sebelum Sayidina Umar wafat, beliau mengangkat enam orang yang memiliki hak dipilih dan memilih. 

    Diantara enam orang itu ada Sayidina Utsman dan Sayidina ‘Ali. Lalu mereka sepakat untuk mengangkat Sayidina Utsman sebagai Khalifah ketiga.

    Pemilihan Sayidina ‘Ali pun sangat berbeda dengan pemilihan Khalifah sebelumnya. Beliau menjadi Khalifah langsung pilihan rakyat. 

    Waktu itu, suasana Madinah tidak kondusif. Sayidina Utsman dibunuh oleh demonstran gabungan Mesir, Kufah, dan Basharah.

    Maka kemudian, para sahabat yang pernah ikut perang Badar mendantangi Sayidina ‘Ali dan berbaiat kepada beliau. 

    Jadilah Sayidina ‘Ali sebagai khalifah keempat. Penjelasan-penjelasan di atas bisa kita temukan di berbagai kitab sejarah. Misalnya Kitab Bidâyah Wa an-Nihâya, karya Imam Ibnu Katsir.

    Berarti meneggakkan khilafah ala HTI tidak wajib dong? Lanjut baca yuk, agar tidak salah faham.

    Dari Khilafah Ke Mamlakah

    Setelah Sayidina ‘Ali wafat, kepemimpinan dipegang oleh Sayidina Hasan, putra Sayidina ‘Ali. 

    Beberapa bulan kemudian, kepemimpinannya diserahkan kepada Sayidina Mu’awiyah. 

    Dan sejak itulah, Khilafah runtuh dan beralih ke sistem mamlakah (kerajaan).

    Hal ini senada dengan sabda Rasulullah saw. bahwa khilafah kenabian itu hanya 30 tahun. Setelah itu, berganti menjadi kerajaan. Kata Rasulullah,

    الخلافة بعدى فى أمتى ثلاثون سنة ثم ملك بعد ذلك

    “Khilafah setelahku di dalam umatku itu 30 tahun. Setelah itu menjadi kerajaan.”

    Hadis ini diriwyatkan oleh banyak ulama. Diantaranya Imam at-Turmudzi. Menurut beliau, hadis ini Hasan.

    Setelah para ulama menganalisis, sebagaimana yang disampaikan oleh Imam as-Suyuthi dalam Târîkh al-Khulafâ’, masa 30 tahun itu hanya sampai pada masa Sayidina Hasan. Bahkan menurut Syaikh Muhammad Abdul Haq al-‘Adzim, masa 30 tahun itu hanya sampai pada Sayidina ‘Ali.

    Perinciannya, masa Sayidina Abu Bakar adalah dua tahun tiga bulan 10 hari. Masa Sayidina Umar adalah 10 tahun 6 bulan 8 hari. 

    Masa Sayidina Utsman adalah 11 tahun 11 bulan 9 hari. Masa Sayidina Ali adalah 4 tahun 9 bulan 7 hari.

    Lalu kenapa pemimpin Islam setelah Sayidina Ali atau Sayidina Hasan masih disebut Khalifah? 

    Menurut Imam al-Munawi, penamaan itu hanya sebatas nama saja. Sebutan mereka yang benar adalah raja.

    Perlu dicatat, pemimpin Islam pasca Sayidina Hasan itu ada yang baik ada yang jahat. Ada yang sukses, ada yang gagal. Walaupun mereka disebut sebagai ‘Khalifah’.

    Anehnya, teman-teman HTI ada yang membanggakan dan menjadikan contoh khilafah Umayyah dan Abbasiyah. Ternyata sudah menjadi kerajaan. Lalu, apakah wajib meneggakan khilafah?

     

    Menegakkan Prinsip Khilafah

    Dengan demikian, yang paling penting adalah menagakkan atau mengamalkan prinsip khilafah baik dalam sistem demokrasi atau sistem kerajaan. 

    Bukan menegakkan sistem khilafah sebagaimana yang diinginkan oleh teman-teman HTI. Hal ini merujuk pada pendapat Syaikh Wahbah az-Zuhaili di atas.

    Ada pendapat menarik dari al-Imam al-Munawi yang dikutip oleh Imam Muhammad Syamsyul Haq dalam kitab ‘Aun al-Ma’bûd mengenai arti Khilafah. 

    Menurutnya, Khalifah itu pengganti Rasulullah. Karena itu, Khalifah adalah mereka yang mengikuti sunah Rasulullah.

    Dengan artian – menurut yang penulis fahami-, siapapun pemimpinnya, apa pun sistemnya, ketika dia mengikuti sunah Rasulullah dalam memimpin, maka dia Khalifah (pengganti) Rasulullah. 

    Maka, presiden negara republik bisa disebut Khalifah. Raja dalam sistem monarki juga bisa disebut khalifah. Dengan syarat, dia mengikuti sunah Rasulullah saw..

    Contoh konkritnya adalah Khalifah Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Sebagian ulama menyebut beliau sebagai Khalifah Rasyidah (baik) yang kelima. Berarti urutannya, Sayidina Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Ali, dan Umar bin ‘Abdul Aziz.

    Alasannya, karena Umar bin Abdul Aziz mengikuti sunah Rasulullah dalam memimpin. 

    Beliau juga mengikuti jejak Khalifah yang empat. Padahal, Umar bin Abdul Aziz menjadi Khalifah dalam sistem kerajaan, yaitu dari Dinasti Umayyah.

    Alakullihal, siapapun presidennya, apa pun sistem negaranya, yang terpenting adalah agama terjaga dan tidak dinesta, serta urusan kehidupan dunia bisa berjalan dengan semestinya.

    Inilah prinsip Khilafah yang sangat relevan untuk kita laksanakan di masa sekarang terlebih di Indonesia berpenduduk beragam. Prinsip khilafah sudah kita dapatkan meski belum sempurna.

    Posting Komentar

    Posting Komentar