-->
lm2ehI3jonma4uzm1pDxTuKLeJW1muj7wMTB5q1K

Ngaji[combine]

Baper[oneright]

Review[oneleft]

Cerpen[three](3)

Lifestyle[hot](3)

Kisah[two]

Aksara[dark](3)

    Page

    Bookmark

    Jangan Bangga Nasab, Tapi Memperbaiki Diri

    “Islam telah mengangkat Salman menjadi mulia walaupun dia orang persia, Islam juga telah menghinakan Abu Lahab walaupun asalnya dia orang mulia”

    Perkataan yang tertulis dalam kitab Adlwa’ al-Bayan ini sepertinya sangat cocok dengan situasi saat ini. 

    Ada banyak orang yang membicarakan nasab. Ada yang membahasnya dalam segi ilmiah, ada juga yang membahasnya disertai cacimaki dan kebencian. 

    Jangan bangga nasab


    Sehingga menimbulkan perpecahan di tengah anak-anak bangsa. Lalu, sejauh manakah nasab itu penting bagi kita?

    Manusia Itu Saudara yang Saling Membutuhkan

    Allah berfirman:

    يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13)

    “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)

    Dalam ayat ini, ada tiga pembahasan penting. Pertama, manusia diciptakan oleh Allah dari seorang lak-laki dan perempuan. Dalam banyak tafsir dijelaskan, yang dimaksud laki-laki dan perempuan dalam ayat ini adalah Adam dan Hawa. 

    Artinya, asal muasal manusia itu sama. Oleh karenanya, Imam Ibnu Abdissalam mengatakan, dengan ayat ini Allah melarang membanggakan nasab.

    Kedua, Allah menciptakan umat manusia berbangsa-bangas dan bersuku-suku bukan untuk saling somobong dan membanggakan nasab. 

    Tapi, untuk saling mengenal. Lalu saling mengisi dan saling membantu. Karena sebenarnya, setiap individu manusia pasti butuh pada manusia lain. 

    Seorang bos butuh pada karyawan, karyawan butuh pada bos. Guru butuh pada murid, murid juga butuh pada guru. Dan begitu seterusnya.

    Ketiga, kemuliaan di sisi Allah bukanlah dengan nasab. Tapi, dengan ketakwaan dalam hati dan amal baik dengan anggota badan. 

    Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan sebuah hadis dari sahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. ditanya:

    أي الناس أكرم؟ قال: "أكرمهم عند الله أتقاهم"

    “Siapa manusia yang paling mulia? Rasulullah menjawab, “Manusia paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling takwa”

    Memperbaiki Diri

    Oleh karenanya, yang terpenting dalam hidup ini adalah selalu memperbaiki diri, siapapun orangnya. Baik anak petani, anak kiai, anak habib, atau siapa saja. Karena yang akan membawa kita pada rida Allah dan surga adalah amal baik bukan nasab.

     Rasulullah saw. bersabda;

    وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

    “Barangsiapa yang kurang amalnya, maka tidak berguna nasabnya.” (HR. Imam Muslim)

    Imam Nawawi menjelaskan dalam Syarh an-Nawawi al-Muslim mengenai hadis ini. Kata belia, barangsiapa yang amal baiknya kurang, maka tidak akan pernah sama dengan orang yang amal baiknya banyak. 

    Oleh karenanya, tidak selayaknya mengandalkan kemulian nasab dan kemuliaan orang tua, tapi sedikit beramal baik.

    Syaikh Muhammad Syamsul Haq juga menjelaskan dalam kitab ‘Aun al-Ma’bud, barangsiapa yang gemar beramal buruk dan kurang beramal baik, maka nanti di akhirat tidak berguna kemuliaan nasabnya.

    Selain itu, amal saleh yang dilakukan oleh orang tua sangat berpengaruh pada kesalehan anaknya. Artinya, jika orang tua termasuk orang yang ahli kebaikan, maka Insyaallah anaknya juga menjadi ahli kebaikan.

    Sebagaimana dalam al-Quran dikisahkan, Nabi Khidir memperbaiki tembok tanpa mengambil upah. Di bawah tembok itu ada harta miliki kedua anak yatim dan ayah kedua anak yatim itu adalah orang yang saleh.

    Dengan berlandaskan pada kisah ini, Imam Ibnu Katsir menulis dalam tafsirnya, seseorang yang saleh akan dijaga keturunannya, serta berkah ibadahnya akan dirasakan oleh anaknya di dunia sampai akhirat.

    Rasulullah juga bersabda:

    بروا آباءكم تبركم أبناؤكم

    “Berbuat baiklah kalian pada orang tua kalian, maka anak kalian akan berbuat baik pada kalian.” (HR. Imam Thabrani)

    Saling Menghormati

    Islam adalah agama cinta dan kasih sayang. Banyak dalil yang menyeru agar umat saling tolong menolong, saling menghormati, dan saling menyayangi. 

    Misalnya, Rasulullah bersabda:

    لا تباغضوا ولا تقاطعوا ولا تدابروا ولا تحاسدوا وكونوا عباد الله إخوانا كما أمركم الله

    “Janganlah kalian saling membenci, saling memutus hubungan, saling meninggalkan, dan saling mendengki. Jadilah kalian wahai hamba Allah sebagai saudara sebagaimana yang Allah perintahkan pada kalian.” (HR. Imam Muslim)

    Ada kisah menarik yang diteladankan oleh para sahabat Rasulullah saw. mengenai saling menghormati dan mencintai. Terutama pada ulama dan keturunan Nabi. 

    Dikisahkan dalam kitab Ithaf as-Sadah, karya Imam az-Zabidi, bahwa suatu ketika sahabat Zaid bin Tsabit selesai mensalati janazah. Lalu, didekatkan pada beliau tunggangannya yang berupa Bagal (keturunan kuda betina dan keledai jantan).

    Seketika sayidina Ibnu ‘Abbas menghampiri dan memegang pijakan kaki untuk menaiki tunggangan itu. 

    Tapi, sahabat Zaid bin Tsabit tidak ingin dihormati sedemikian rupa. Beliaupun berkata, “Jangan lakukan itu wahai sepupu Rasulullah saw.” 

    Lalu, Saydina Abbas menjawab, “Beginilah perintah Rasulullah saw. kepada kami untuk memperlakukan ulama kami.”

    Lalu, sahabat Zaid bin Tsabit meminta kepada Sayidina Ibnu Abbas untuk memperlihatkan tangannya. 

    Seketika sahabat Zaid mencium tangan Sayidina Ibnu ‘Abbas. Sahabat Zaid berkata, “Seperti inilah perintah Rasulullah kepada kami untuk memperlakukan keluarga Rasulullah saw..”

    Alakullihal, nasab itu penting. Bukan untuk saling membanggakan, tapi agar saling mengenal. Lalu mengasihi dan saling menghormati. Karena kita saudara. 

    Jika bukan saudara sesama muslim, kita saudara sesama keturunan Adam dan Hawa. Sekali lagi, bukan membanggakan nasab tapi memperbaiki nasab dengan memperbaiki diri. 

    Sebab, hanya amal saleh yang akan menemani kita di akhirat dan amal saleh yang akan menjadi keberkahan untuk keturunan kita.


    Posting Komentar

    Posting Komentar