“Islam telah mengangkat Salman menjadi mulia
walaupun dia orang persia, Islam juga telah menghinakan Abu Lahab walaupun
asalnya dia orang mulia”
Perkataan yang tertulis dalam kitab Adlwa’ al-Bayan ini sepertinya sangat cocok dengan situasi saat ini.
Ada banyak orang yang membicarakan nasab. Ada yang membahasnya dalam segi ilmiah, ada juga yang membahasnya disertai cacimaki dan kebencian.
![]() |
Jangan bangga nasab |
Sehingga menimbulkan perpecahan di tengah anak-anak bangsa. Lalu, sejauh manakah nasab itu penting bagi kita?
Manusia Itu Saudara yang Saling Membutuhkan
Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ
ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13)
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Dalam ayat ini, ada tiga pembahasan penting. Pertama, manusia diciptakan oleh Allah dari seorang lak-laki dan perempuan. Dalam banyak tafsir dijelaskan, yang dimaksud laki-laki dan perempuan dalam ayat ini adalah Adam dan Hawa.
Artinya, asal muasal manusia itu sama. Oleh karenanya, Imam Ibnu
Abdissalam mengatakan, dengan ayat ini Allah melarang membanggakan nasab.
Kedua, Allah menciptakan umat manusia berbangsa-bangas dan bersuku-suku bukan untuk saling somobong dan membanggakan nasab.
Tapi, untuk saling mengenal. Lalu saling mengisi dan saling membantu. Karena sebenarnya, setiap individu manusia pasti butuh pada manusia lain.
Seorang bos butuh pada
karyawan, karyawan butuh pada bos. Guru butuh pada murid, murid juga butuh pada
guru. Dan begitu seterusnya.
Ketiga, kemuliaan di sisi Allah bukanlah dengan nasab. Tapi, dengan ketakwaan dalam hati dan amal baik dengan anggota badan.
Dalam Tafsir Ibnu
Katsir dijelaskan sebuah hadis dari sahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw.
ditanya:
أي الناس أكرم؟ قال:
"أكرمهم عند الله أتقاهم"
“Siapa manusia yang paling mulia?
Rasulullah menjawab, “Manusia paling mulia di sisi Allah adalah orang yang
paling takwa”
Memperbaiki Diri
Oleh karenanya, yang terpenting dalam hidup ini adalah selalu memperbaiki diri, siapapun orangnya. Baik anak petani, anak kiai, anak habib, atau siapa saja. Karena yang akan membawa kita pada rida Allah dan surga adalah amal baik bukan nasab.
Rasulullah saw. bersabda;
وَمَنْ بَطَّأَ
بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
“Barangsiapa yang kurang amalnya,
maka tidak berguna nasabnya.” (HR. Imam Muslim)
Imam Nawawi menjelaskan dalam Syarh an-Nawawi al-Muslim mengenai hadis ini. Kata belia, barangsiapa yang amal baiknya kurang, maka tidak akan pernah sama dengan orang yang amal baiknya banyak.
Oleh karenanya,
tidak selayaknya mengandalkan kemulian nasab dan kemuliaan orang tua, tapi
sedikit beramal baik.
Syaikh Muhammad Syamsul Haq juga menjelaskan dalam kitab ‘Aun
al-Ma’bud, barangsiapa yang gemar beramal buruk dan kurang beramal baik,
maka nanti di akhirat tidak berguna kemuliaan nasabnya.
Selain itu, amal saleh yang dilakukan oleh orang tua sangat
berpengaruh pada kesalehan anaknya. Artinya, jika orang tua termasuk orang yang
ahli kebaikan, maka Insyaallah anaknya juga menjadi ahli kebaikan.
Sebagaimana dalam al-Quran dikisahkan, Nabi Khidir
memperbaiki tembok tanpa mengambil upah. Di bawah tembok itu ada harta miliki
kedua anak yatim dan ayah kedua anak yatim itu adalah orang yang saleh.
Dengan berlandaskan pada kisah ini, Imam Ibnu Katsir menulis
dalam tafsirnya, seseorang yang saleh akan dijaga keturunannya, serta berkah
ibadahnya akan dirasakan oleh anaknya di dunia sampai akhirat.
Rasulullah juga bersabda:
بروا آباءكم
تبركم أبناؤكم
“Berbuat
baiklah kalian pada orang tua kalian, maka anak kalian akan berbuat baik pada
kalian.” (HR. Imam
Thabrani)
Saling Menghormati
Islam adalah agama cinta dan kasih sayang. Banyak dalil yang menyeru agar umat saling tolong menolong, saling menghormati, dan saling menyayangi.
Misalnya, Rasulullah bersabda:
لا تباغضوا ولا
تقاطعوا ولا تدابروا ولا تحاسدوا وكونوا عباد الله إخوانا كما أمركم الله
“Janganlah kalian
saling membenci, saling memutus hubungan, saling meninggalkan, dan saling
mendengki. Jadilah kalian wahai hamba Allah sebagai saudara sebagaimana yang
Allah perintahkan pada kalian.” (HR. Imam Muslim)
Ada kisah menarik yang diteladankan oleh para sahabat Rasulullah saw. mengenai saling menghormati dan mencintai. Terutama pada ulama dan keturunan Nabi.
Dikisahkan dalam kitab Ithaf as-Sadah, karya Imam
az-Zabidi, bahwa suatu ketika sahabat Zaid bin Tsabit selesai mensalati
janazah. Lalu, didekatkan pada beliau tunggangannya yang berupa Bagal
(keturunan kuda betina dan keledai jantan).
Seketika sayidina Ibnu ‘Abbas menghampiri dan memegang pijakan kaki untuk menaiki tunggangan itu.
Tapi, sahabat Zaid bin Tsabit tidak ingin dihormati sedemikian rupa. Beliaupun berkata, “Jangan lakukan itu wahai sepupu Rasulullah saw.”
Lalu, Saydina Abbas menjawab, “Beginilah perintah
Rasulullah saw. kepada kami untuk memperlakukan ulama kami.”
Lalu, sahabat Zaid bin Tsabit meminta kepada Sayidina Ibnu Abbas untuk memperlihatkan tangannya.
Seketika sahabat Zaid mencium tangan
Sayidina Ibnu ‘Abbas. Sahabat Zaid berkata, “Seperti inilah perintah Rasulullah
kepada kami untuk memperlakukan keluarga Rasulullah saw..”
Alakullihal, nasab itu penting. Bukan untuk saling membanggakan, tapi agar saling mengenal. Lalu mengasihi dan saling menghormati. Karena kita saudara.
Jika bukan saudara sesama muslim, kita saudara sesama keturunan Adam dan Hawa. Sekali lagi, bukan membanggakan nasab tapi memperbaiki nasab dengan memperbaiki diri.
Sebab, hanya amal saleh yang akan menemani kita di akhirat
dan amal saleh yang akan menjadi keberkahan untuk keturunan kita.
Posting Komentar